01 – Menuju Kota Tual

esai kota tual

Saya berada di Maluku Tenggara, tepatnya Kota Tual, atau orang-orang mungkin akrab dengan sebutan Pulau Kei. Bukan dengan tiba-tiba atau tanpa sebab, saya menginjakkan kaki di Pulau Kei karena menjalankan tugas yang sudah menjadi kewajiban mahasantri STKQ Al-Hikam Depok. Setelah 4 tahun kuliah dan menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir, masih ada satu lagi tahap yang harus diselesaikan, yaitu PROSAKTI (Program Masa Bakti).

Kalau dengar candaan dari asatidz, seringkali mereka bilang yang intinya begini, “Kalian di tempat pengabdian itu sudah dianggap pro dan sakti, makanya jangan heran kalau diistimewakan dan dianggap bisa apa saja,” kalau kata orang Lamongan itu “Multilatent” hiya hiya. Sebenarnya pernyataan itu malah mengundang suatu ketakutan dalam kepala saya, sebab saya sadar betul akan pengetahuan saya yang masih terbatas. Akan tetapi, salah seorang teman berkata:

“Tidak harus menunggu sempurna untuk mengabdikan jiwa dan raga. Bahkan mungkin di tempat pengabdian kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik melalui kesabaran dan keikhlasan.”

Dari 27 teman seangkatan, semuanya disebar ke berbagai “sudut negeri”, utamanya yang terpencil; terpelosok; dan terdalam, selama setahun. Ada yang ditempatkan di pesantren dan ada pula yang di masyarakat.

Di sini, saya adalah satu dari 27 mahasantri yang disebar. Saya akan menceritakan pengalaman, sudut pandang, serta hal-hal menarik dalam masa pengabdian ini. Setelah beberapa paragraf, inilah saatnya untuk memperkenalkan siapa “Saya”. Nama saya M Nashikhul Ibad, akrab dipanggil Ibad, dan ada juga yang memanggil “Kampret.” Saya lahir di kota Lamongan yang sangat dikenal dengan khas Soto dan Pecel lelenya.

***

Sekilas Tentang STKQ Al-Hikam

Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam adalah kampus mahasiswa yang berbasis pesantren. Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an (STKQ) adalah nama kampusnya, sedangkan Al-Hikam adalah nama pesantrennya. Kampus berbasis pesantren ini didirikan oleh tokoh moderat yang bernama Almaghfurlah K.H Ahmad Hasyim Muzadi. Beliau sengaja mendirikan pesantren di dekat kampus-kampus besar dengan harapan agar calon pemimpin bangsa memiliki kecerdasan intelektual sekaligus spiritual.

Pesantren yang pertama berdiri di Malang, dan yang kedua ada di Depok. Letak pesantren yang sengaja didirikan di dekat kampus-kampus besar, didasari oleh pandangan K.H Ahmad Hasyim Muzadi, biasanya orang-orang yang pintar itu belum benar dan orang yang benar itu belum pintar. Maksudnya, kita sebagai seorang santri itu dianggap sebagai orang yang benar, dan mahasiswa kampus luar yang mondok di Al-Hikam dianggap sebagai orang yang pintar. Maka dari itu, beliau mensinergikan dua kekuatan, yakni benar dan pintar, agar menjadi satu kesatuan yang signifikan.

“Minimal kalau tidak bisa menjadi pemimpin bangsa ya yang pasti kalian akan menjadi pemimpin keluarga,” itu yang sering disampaikan oleh beliau ketika memberikan sambutan.

Visi misi dari Al-Hikam memang untuk mencetak kader-kader yang siap terjun ke masyarakat untuk menunjukkan nilai Islam Rahmatan Lil ‘Aalamiin. Hal itu dilakukan dengan cara menyebar santrinya ke pelosok negeri. Mulai dari Aceh sampai Papua. Berikut kata Almaghfurlah K.H Ahmad Hasyim Muzadi yang menempel dalam ingatan saya,

“Kamu itu sudah saya ajari caranya berenang, makanya harus langsung diceburkan.”

Kiyai Hilmi As-Shiddiqi Al-Aroky

Almaghfurlah K.H Ahmad Hasyim Muzadi juga mempunyai murid atau khadimah yang sangat setia mendampingi hingga akhir hayatnya. Ialah sosok dengan paras yang menyejukkan hati, beliau bernama Kiyai Hilmi As-Shiddiqi Al-Aroky, ruh-nya Al-Hikam. Kata teman-teman, beliau juga mursyid dari thoriqoh Arokiyah Qodiriyah.

Konon katanya, ketika menempuh pendidikan di Sudan, beliau ditanya oleh gurunya,

“Kamu ke sini niat mencari ijazah apa mencari ilmu?” beliau menjawab “Mencari ilmu, guru,” guru beliau bilang, “Ya sudah, berarti kubur saja ijazahmu dan jangan bawa pulang ke Indonesia.”

Alhasil, sampai sekarang pun beliau tidak punya ijazah sarjana dan tidak punya gelar pendidikan formal.

Beliau juga lah yang ber-istikhkoroh untuk menentukan tempat pengabdian mahasantri. Konon katanya, setiap santri yang ditempatkan di titik mana pun sudah sesuai karakter dan kemampuan masing-masing. Dalam hati, saya bergumam, padahal beliau gak akrab sama semua santri kok bisa beliau tahu detail soal kebiasaan dan karakter santrinya, jadi takut sama beliau kalau diri ini terbaca luar dalam.

Saya masih belum percaya betulan dengan hal itu, tetapi menurut saya, setelah berada sebulan di Pulau Kei, Saya rasa beliau benar adanya. Saya notabene-nya pemuda perokok dan si paling tongkrongan, suka ngopi, bercanda hingga larut malam, kemudian suka jalan-jalan. Hingga di sini, saya dipertemukan dengan masyarakat Kei yang mempunyai kebiasaan sama.

Masyarakat Kei sangat gemar duduk berlama-lama menyeruput kopi disambi merokok. Cerita ngalor ngidul mulai dari bahas politik hingga cerita konflik agama yang terjadi di tahun 1999. Dengan nada bicara yang cepat sembari diiringi tawa, malam selalu dibuat panjang, terkadang sampai lupa pulang. Masyarakat Kei juga sering menyempatkan liburan saat weekend datang. Pergi memancing di laut lepas, atau sekedar camping di pantai dengan bakar-bakar ikan. Apalagi Kei termasuk daerah Timur Indonesia yang banyak menyimpan destinasi alam yang seindah gambaran surga.

Saya dan Pulau Kei

Awalnya saya pikir orang-orang yang ada di timur itu keras-keras. Memang dari segi muka dan nada bicara mereka terlihat mengerikan dan arogan, tapi hati dan perilakunya sangat lembut penuh kasih sayang. Tamu yang datang sudah dianggap seperti keluarga, dijamu layaknya raja.

Di mana pun tempatnya, pasti ada yang namanya orang baik dan orang yang belum baik. Saya katakan demikian karena pada dasarnya semua manusia itu baik, tapi mungkin belum saatnya dan belum dapat hidayah sepenuhnya. Jadi kembali ke pribadi masing-masing, sebenarnya apa yang dicari, kalau tujuanya baik, InsyaAllah akan menemukan yang baik juga, dan begitu pun sebaliknya, sebagaimana firman Allah,

“In Ahsantum Ahsantum Li Anfusikum, Wa In Asa’tum Falaha.”

Pesawat

Saya masih ingat betul ketika perjalanan menuju Pulau Kei dengan pesawat Lion Air nomor penerbangan 7088. Saya berangkat dari Surabaya menuju Bandara Juanda diantar oleh keluarga dan dua sahabat saya.

Sebelum berangkat, saya memberanikan diri untuk memeluk abah, karena saya tahu beliau adalah orang yang sangat sayang, tapi sebagai laki-laki gengsinya sangat tinggi. Sambil menenteng koper dan membawa tas ransel, saya melambaikan tangan sembari melempar senyum kepada keluarga dengan menahan haru yang tak biasa, sebab menunggu satu tahun lagi untuk bisa bersama, juga karena ini adalah jarak paling jauh yang memisahkan saya dengan mereka.

Pukul 20.00 WIB pesawat take off menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, tiba disana pukul 23.00 WITA. Saya seorang diri tanpa ada yang saya kenali. Rute penerbangan tidak bisa langsung ke Kota Tual, dan harus transit terlebih dahulu. Saya benar-benar bingung ketika di bandara Sultan Hasanuddin. Kantuk yang sudah menggerogoti tetap saja tak berhasil membuat saya memejamkan mata. Mungkin karena saya cemas sebab jadwal penerbangan menuju Ambon selanjutnya pukul 04.00 WITA.

Takut terlambat, saya akhirnya memutuskan pergi ke warung kopi yang ada didalam bandara. Kopi di sana unik sekali. Saya pesan satu gelas, tapi yang datang dua. Ternyata gelas satu berisi kopi dan satunya berisi penuh gula. Konsepnya memang dipisah agar pelanggan bisa menyesuaikan takaran sesuai selera.

Setelah minum kopi dan menghabiskan beberapa rokok, saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke tiap sudut bandara sambil menunggu jam keberangkatan tiba. Tak berselang lama, jam menunjukkan pukul 03.30 WITA. Saya bergegas check-in agar tidak ketinggalan pesawat. Perjalanan yang sekaligus menjadi pengalaman pertama ini cukup melelahkan, tapi harus saya nikmati.

Di dalam pesawat, saya bertemu pace dari Jayapura. Berbincang-bincang sambil menikmati sunrise yang sangat indah dan memanjakan mata di ketinggian 30.000 kaki. Tak terasa pramugari memberikan arahan bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat di bandara Pattimura Ambon.

Tepat pukul 07.00 pesawat take down. Saya bergegas turun dan mencari colokan karena batere posisi low. Lumayan, masih ada waktu 2 jam untuk melanjutkan penerbangan menuju bandara Langgur Kota Tual.

Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIT, tapi belum ada aba-aba keberangkatan. Menurut info yang diberikan, pesawat mengalami kerusakan di bagian kaca pilot, dan tidak ada konfirmasi kapan pesawat akan bisa terbang. Menanti yang tak pasti memang melelahkan, huh. Alhasil delay pun berjalan hingga pukul 15.30 WIT. Waktu yang sangat lama dan membosankan, sampai semua penumpang mendapat roti, makan, dan uang kompensasi dari pihak penerbangan.

Pesawat take off tepat pukul 16.00 WIT. Saya sangat riang dan sedikit cemas karena pilot melakukan manuver yang sangat mengerikan dengan kemiringan yang berlebihan. Itu cukup membuat lantunan sholawat dari mulut saya tak henti-henti terucapkan, sebagaimana yang ibu pesankan, “Kalau sedang perjalanan jangan sampai putus baca sholawatnya.”

Setelah itu, mata saya kembali dimanjakan sebab posisi duduk saya yang berada tepat di samping sayap dan jendela. Saya bisa melihat deretan pulau-pulau kecil dari ketinggian. Laut nampak biru, rumah-rumah warga juga terlihat rapi berjajar berdampingan, dan gulungan awan terlihat gahar terkena guratan sinar matahari yang mulai tenggelam. Sunset terindah yang tak pernah saya bayangkan.

Sampai di Tual

Tepat pukul enam petang, saya sampai di bandara Langgur Kota Tual. Masyarakat sudah siap menyambut sedari tadi. Sebenarnya sangat banyak yang turut menjemput saya, tapi karena pesawat delay, jadi banyak dari mereka yang sudah pulang.

Pertama kali masuk bandara, leher saya dikalungkan surban, yang sudah menjadi adat sebagai tanda selamat datang dan bergabung menjadi bagian keluarga. Selepas itu, konvoi mobil beriringan membawa saya pulang ke rumah salah satu warga. Makanan sudah tersedia sangat banyak. Mulai dari ikan laut, sayur rumput laut, dan banyak sekali jenis makanan yang belum pernah saya jumpai sebelumnya.

Selepas makan, kami berbincang hingga larut malam. Saya hanya sedikit tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, karena memang belum paham bahasanya. Hingga kemudian mereka mungkin iba melihat keadaan saya yang sudah lelah karena perjalanan. Mereka pun mempersilakan saya untuk beristirahat.

(*)

Editor: Uzair Assyaakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *