Malam hari, dengan lampu kamar yang baru saja kaupadamkan, kau membuka obrolan dengan dirimu sendiri sambil menggeliat di atas kasur yang nyaman. Mencoba untuk segera tidur, tapi sebagaimana malam yang sudah-sudah, gawai begitu lihai menyita perhatianmu.
Tak sengaja kau mengetuk galeri. Seketika juga kau terbuai ke dalam beberapa rekaman video, kolase, atau foto zaman-zaman susah-senang pada masa lalu. Masa yang tak bisa diulang, dibeli, atau ditukarkan dengan sekantung tangis yang mengucur membasahi bantalmu saat ini.
Manusia begitu gemar membuka lembaran-lembaran ingatan tertentu. Setidaknya itu bisa menjadi rekreasi yang menyenangkan di tengah hidup sekarang yang semi-semi bajingan. Iya, kita bisa dengan seenak jidat menumpangi mesin waktu hanya berbekal foto atau video. Foto saat ibu masih sehat; foto kali pertama adik mengayuh sepeda roda tiga; foto café terakhir yang kau datangi bersama dengan mantanmu; atau juga video yang tak sengaja kau rekam saat perjalanan; video di bandara yang menyoroti pecah tangis dari orang yang membesarkanmu; dan video saat dia masih bersama denganmu.
Ingatan-ingatan yang menyesakkan-mendebarkan-mengharukan-menyenangkan-menyedihkan, semua hadir, terkumpul di gawai bersama dengan screenshot-screenshot meme lucu, yang kelak akan kaukirimkan kepada pacarmu.
Foto, sekotak (atau mungkin persegi panjang) gambar yang bisa di-zoom in-zoom out untuk mencermati beberapa detail di dalamnya. Bisa senyumnya, bisa barang yang kau beli saat itu, atau bisa juga untuk menakar kadar lemak pada masanya, lalu dibandingkan dengan masa kini. Namun, foto benar-benar terbatas. Sekuat-kuatnya ingatan yang kau panggil melalui foto takkan bisa menjelaskan masa–masa itu dengan detail. KITA membutuhkan sesuatu yang awet bak formalin untuk ingatan-ingatan yang ingin kita ingat dengan lebih rinci atau selektif.
Video, sekotak (atau mungkin persegi panjang) juga, yang bisa merangkum beberapa menit dari kisah hidup yang ingin kita ingat. Saat wisuda, menangkap ayam bersama mamak, adik bayimu yang kau utuq-utuq-in, atau rekam perjalanan saat berlibur di kebun teh pekan lalu. Tetapi lagi-lagi, sepanjang-panjangnya durasi video, itu tak pernah cukup untuk menampung apa yang ingin kau awetkan. KITA membutuhkan sesuatu yang awet bak formalin untuk ingatan-ingatan yang ingin kita ingat dengan lebih rinci atau selektif.
Secara pribadi, aku bukan orang yang gemar menangkap gambar atau merekam video. Bukan karena alergi atau sok. Tapi kukira itu dikarenakan aku belum merasakan kepuasan dalam mengabadikan momen melalui kamera. Sebenarnya itu didasari dengan kemampuanku yang minim soalan foto dan video. Malah sejujurnya, aku iri pada mereka yang lihai menjepret gambar atau merekam momen penting, untuk kemudian diedit sedemikan bagus.
Mengimbangi kekurangan itu, aku kemudian memilih untuk menuliskannya saja. Kisah-kisah ringan, sudut pandang, tentang Emak, dan sesekali menuliskan liputan atas hal-hal yang kuanggap menarik. Kadang kutulis layaknya mengisi logbook, keseharian yang tak penting-penting amat. Sering juga kuracik dengan kisah hidup bercampur data dari internet. Sesekali, saat kujumpai kutipan atau epigram yang menarik dari buku atau film, aku memasukkannya juga ke dalam tulisan.
Dalam menulis, kau sangatlah bebas. Bebas menulis tentang sesuatu yang kau rasakan dan yang terjadi dalam hidupmu, semacam jurnal pribadi. Bebas mengarang sesuai dengan imajinasi yang bergentayangan dalam rongga kepalamu, semacam cerpen. Bebas menuangkan gagasan serta mengambil-menerapkan sebuah data dari internet, lalu kau tata menjadi tulisan yang padu dan mengalir, semacam opini atau esai. Juga bebas menyajikan dua-tiga larik kalimat yang amat personal sekaligus menyentuh, semacam puisi.
Melalui menulis, kau bebas melakukan apa saja. Menempelkan ingatan itu di sini, atau menendang kalimat yang menurutmu tak menarik. Dengan begitu, kau bisa mengingat bagian mana yang ingin kau awetkan. Bahkan kau bisa mengisahkannya dengan sangat detail tentang peristiwa atau tentang seseorang yang berarti dalam hidupmu.
“Matanya coklat muda, rambutnya halus sedikit bergelombang, tulisannya… selalu tentangku. Punggungnya lebar, bahkan kupikir aku bisa main futsal di punggungnya yang juga kokoh itu. Dia bukan panglima tempur, tapi dia begitu ngeyel menggempur pertahananku. Pertahanan untuk tak jatuh hati kepada seorang penulis…”
Tulisan di atas itu cuma contoh. Fiksi. Tapi aku tak peduli meski itu cuma fiksi atau nyata. Melalui cara itu, aku bisa mengawetkan rasa yang ingin kuawetkan selamanya. Ini begitu personal, tapi sangat menyenangkan jika kau mau dan berani memulai…
Aku mengajakmu merawat-memupuk-menyirami ingatan itu. Melalui menulis di Mari Mengurai! Kirim tulisanmu di sini
Waktu akan membuat kita lupa,
tapi yang kita tulis akan membuat kita ingat
Pidi Baiq
1 Komentar