Bapak mempersilakan orang asing itu untuk masuk ke dalam rumah. Usai menyuguhkan teh hangat dan gorengan pisang, Bapak beringsut ke dalam kamar. Dari ujung ke ujung, seprai ditekuk begitu rapi, dan bantal-guling tiba-tiba mengenakan baju baru. Saya keheranan. Kenapa Bapak sebegitunya menjamu tamu asing yang tak diundang?
Terus terang, saya lebih mengenal Emak (ibu) ketimbang Bapak. Pengaruh intensitas kebersamaan, barangkali. Di rumah, Emak selalu ada untuk saya, sedangkan Bapak merantau ke Pulau Bawean: memastikan dapur rumah tetap ngebul.
Seumur hidup, saya tak pernah mencicipi benda atau wilayah yang bernama Bawean. Itu pulau yang nyaris samar dalam benak saya. Tahun-tahun awal selepas menikah, Emak sudah melebur dengan penduduk lokal yang berada di pulau 99 gunung itu. Dan ketika Kakak saya masih duduk di Taman Kanak-Kanak, bersama kaki kecilnya, dia juga telah menapak pasir putih di Pulau Putri itu. Kalau Bapak malah semenjak perjaka tong-tong sudah menjadikan Bawean sebagai tempat untuknya mengais pundi-pundi rupiah. Itu berarti, di keluarga kecil ini, hanya saya yang benar-benar buta mengenai apa saja yang berbau Bawean.
Kecuali satu hal! Saya mengenal Bawean di peta geografis Indonesia ketika masih duduk di bangku Madrasah. Bukan kok pulau, malah saya kira setitik hijau, yang nyempil lumayan jauh dari dataran Kabupaten Gresik itu hanyalah kesalahan dari mesin print. Secuil gambar yang lahir secara tidak disengaja.
Menuju Bawean
Gambaran samar-samar/nihil/ketombe di peta Indonesia itu perlahan-lahan mulai terlihat jelas lantaran saya sedang dalam perjalanan menuju Pulau Bawean. Kepercayaan bahwa Bawean bukanlah dongeng semata tiba-tiba merayap dalam dada saya. Langit bersih biru cerah. Tak ada awan menggerombol layaknya kapas yang berterbangan. Tidak hanya Bapak, cuaca sepertinya juga mendukung keberangkatan saya.
Bersamaan dengan itu, saya menarik napas dalam-dalam. Bukan hanya oksigen yang masuk, tapi juga udara laut sekalian. Saya memutar bola mata ke kiri dan ke kanan, seluruhnya dipenuhi biru laut. Belum jenak merentangkan lengan layaknya tahanan yang baru dibebaskan, Bibi mencolek pundak saya. Urusan administrasi.
Penjaga gerbang pelabuhan tiba-tiba mencegat saya dengan Bibi. Apakah saya dan Bibi sudah membeli tiket? sembari bertanya, ia menyilangkan dada, semacam sikap sopan. Kami mengangguk. Ia memungkasi pembicaraan singkat itu dengan sebuah penafian: “Jangan masuk kapal sebelum pukul tujuh”. Saya dan Bibi, dan dengan motor masing-masing, yang penuh barang dagangan, melenggang pergi menjauhi penjaga gerbang. Kami lebih dekat dengan biru laut, sepoi angin, kapal yang besar, dan tentu saja (mungkin) Pulau Bawean.
Matahari tidak pernah tergesa-gesa. Ia turun dengan cara yang anggun. Memaksa saya, yang sedang duduk di atas jok motor yang terparkir di dekat kapal, untuk turun dan memotretnya. Satu dua kali tampak menawan, tapi fokus saya segera teralihkan dengan kapal yang demikian besar.
BACA JUGA: Menuju Kota Tual
Dermaga
Kapal itu berdiri kokoh, memiliki nama Gili Iyang, dan bersandar di ujung pelabuhan akibat empat tali yang dicantolkan ke besi penjaga. Ah, entah besi apa namanya. Yang pasti, besi-besi itu memang ditakdirkan untuk menahan kapal agar tidak terombang-ambing sebelum waktunya.
Dermaga itu mulai ramai, oleh motor beserta pengendaranya, ketika matahari baru saja tergelincir-tenggelam. Satu-persatu dari mereka mulai menghiasi bibir dermaga, tapi tentu penafian tadi masih berlaku. Azan maghrib kemudian terdengar dari jauh bersahut-sahutan.
Saya, Bibi, dan rombongan pemotor lain memiliki kesamaan. Yang jelas tentu kami hendak menyeberang, atas bantuan kapal, untuk sampai ke negeri yang saya tak tahu memiliki wajah seperti apa. Kesamaan selanjutnya adalah motor mereka yang sarat akan muatan: tali ban silang-melintang menjerat jok belakang agar barang-barang yang hendak dijual-naik-harga itu tak jatuh karena hantaman ombak dari luar kapal.
Melihat itu, sekelebat bayangan Bapak muncul. Mungkin beginilah potret Bapak ketika hendak mencari nafkah. Satu individu yang berkumpul menjadi serombongan. Rombongan para perantau.
Udara mulai nakal, tapi jaket tebal yang saya kenakan berhasil menahan keisengan mereka. Penerangan seakan kewalahan menghadapi dermaga dan laut lepas. Langit dan laut sama-sama menghitam. Kapal Gili Iyang kokoh sedikit bergoyang. Angin memburu dari segala penjuru, tapi bagaimana ombak dan nasib selanjutnya tak ada yang tahu.
Kawan Hangat Seperjalanan
Beberapa dari rombongan itu kemudian mendekati saya dan Bibi. Mereka melemparkan senyum yang setara dengan kue yang baru saja keluar dari oven. Satu dari mereka kemudian menatap Bibi saya dan menanyakan tentang siapa saya ini. Anaknya Pak Hasan, tutur Bibi. Seakan-akan tergabung dalam lomba gerak jalan, mereka serentak berkata, “Ohhh,” dilanjut dengan menjabat akrab tangan saya. “Sudah besar rupanya anak kedua ini.” Saya mengernyitkan dahi. Seketika saya menjadi orang asing yang—rasa-rasanya—seperti dipersilakan tidur di atas kasur tuan rumah yang nyaman. Wajah dan senyum Bapak tercermin dalam sikap mereka.
Saya tersenyum kikuk sambil berbisik di telinga Bibi. Mempertanyakan apa yang tak saya ketahui. “Mereka sudah lama kenal Bapakmu,” jawabnya. Teman-teman Bapak itu bercengkerama pakai bahasa Jawa, meski logatnya agak sedikit lain. Kelak saya tahu bahwa itu adalah logat Bawean.
Sekumpulan truk dan satu mobil ambulans memasuki kapal terlebih dulu. Yang bawa motor, termasuk saya, dipaksa harus menunggu. Ketika air laut mulai pasang, dan jarum kecil pada jam berdetak di angka delapan, kapal langsung terisi oleh rombongan pemotor dengan sarat muatan. Tetapi tidak seperti semut yang mengerubungi gula, sebab semua sudah diatur dengan tertib oleh petugas layanan pelabuhan.
Seluruh petugas layanan pelabuhan yang saya lihat adalah bapak-bapak. Mayoritas mengenakan topi, dan punya perangai suka bercanda dengan para penumpang kapal. Beberapa kali saya mengira ada teriakan memaki, tapi ternyata teriakan itu semacam bentuk berseloroh belaka. Barangkali para perantaunya hanya itu-itu saja, dan petugas layanannya juga sudah hapal betul dengan wajah para perantau. Keakraban pun menjadi matang ditanak bersama dengan waktu.
Sebelum naik kapal, satu petugas mendekat, mengajak ngobrol Bibi saya. Pria dengan seragam berwarna biru laut itu ternyata punya kenalan teman yang bermukim di kecamatan yang sama dengan kami. Saya terhenyak ketika ujung dari obrolan itu mengerucut pada kesimpulan bahwa ternyata kenalannya adalah adik dari kakek saya. Atau itu juga berarti paman dari Bibi saya. Kami bertiga tergelak, termasuk bapak-bapak petugas itu bersama dengan kumis baplangnya. Hidup ternyata sempit.
Lain cerita ketika saya sudah duduk di kantin yang berada di dalam kapal. Saya bertemu pria humoris yang begitu luwes berjalan meski ombak bikin kapal sedikit bergoyang. Ia, bukan sebagaimana perantau dari Jawa yang bertolak ke Bawean, juga bukan perantau dari Bawean yang hendak mengubah nasib di Jawa. Ia menempati posisi abu-abu antara kedua jenis perantau itu. Pemilik kantin dalam kapal penyeberangan. Saat kapal membelah laut Jawa menuju pelabuhan Paciran, ia ikut. Begitu pula dengan rute sebaliknya.
Amir adalah nama dari lelaki itu. Asli warga Bawean. Dia akrab dengan Bibi saya, yang merupakan pedagang rantau dari Jawa. Bibi mencolek pundak saya. Ia kemudian iseng bercerita kalau Amir adalah seorang penawar harga yang gila, dan kegilaannya melebihi perempuan mana pun. Kalau menawar dagangan Bibi itu murah betul seakan-akan barang yang dijual itu hasil pungut secara cuma-cuma di trotoar. Akan tetapi ketika si Amir tengah berjual-ria di stan kepunyaannya, kopi cangkir kecil ia banderol dua belas ribu, minuman rasa jeruk yang tadinya cuma empat ribu juga naik tiga kali lipat dari harga aslinya. Saya tertawa sembari menatap Amir dari jauh.
“Mir! Ini anakku, kubawa ke Bawean,” ujar Bibi spontan. Sambil melenggang begitu lihai ke kanan-kiri-depan-belakang, Amir nyeletuk, “Boleh itu, ganteng, cewek Bawean pasti suka.” Sikap ceplas-ceplosnya itu barangkali menjadi semacam lem bagi para orang asing. Lem yang dengan segera menempelkan perangko bersama amplop, agar si perangko tak merasa sendirian, terlebih ketika dalam perjalanan.
Mungkin memang banyak orang yang serupa dengan saya: senang mengobrol, tapi susah untuk memulai obrolan. Tetapi kalau sinyal humor sudah dilempar sebagaimana yang dilakukan oleh Amir, maka obrolan selanjutnya akan mengalir dengan tenang seperti ombak yang menggendong kami sekalian di dalam kapal.
BACA JUGA: Super Mario, Konsol NES, dan Membeli Nostalgia
Menyusun Kepingan Puzzle
Saya merasakan sesuatu yang sedikit aneh. Ini adalah kali pertama saya hadir di pelabuhan dan duduk di dalam ruang istirahat kapal Gili Iyang, tapi perasaan seolah mengatakan kalau saya sering ke sini dan akrab dengan mereka. Semacam ada keterikatan pribadi. Tawa bersambut senyum, jabat tangan tanpa canggung. Bukan hanya dari mereka yang kenal Bapak atau Bibi, tapi mayoritas penumpang juga berlaku demikian.
Bagi para perantau, obrolan hangat di dermaga penyeberangan yang bersambung di dalam kapal adalah cara meminimalisir dingin dan perasaan asing ketika membelah Laut Jawa. Serombongan perantau mungkin bukanlah saudara sedarah, tapi mereka punya visi yang sama, yang ditujukan untuk menghidupi keluarga kecil di Jawa.
Siapa pun engkau, kita berada di dalam kapal yang sama tuk menuju pulau yang sama pula, maka mari berkenalan dan saling menghangatkan, terlebih sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di tanah orang. Mungkin begitu.
Lalu jika lingkupnya sedikit diperbesar lagi, maka bukan hanya saling menghangatkan karena berada di dalam kapal yang sama, melainkan karena kita sama-sama manusia. Dan manusia hendaknya memberi rasa aman kepada manusia lain. Memberi tumpangan tidur yang layak bagi orang asing, misalnya.
Saya menemukan kepingan puzzle di tengah garis batas antara Lamongan-Bawean. Kepingan yang menjawab beberapa keheranan saya tentang Bapak, dan mungkin pula tentang sebuah perjalanan yang memperjelas gambaran samar-samar tentang Pulau Bawean, yang sebelumnya saya kira hanya cipratan tinta print yang tak disengaja di atas atlas. Menyelonjorkan kaki di ruang istirahat kapal, saya kemudian memejamkan mata. Bercampur kantuk dan lelah, saya berusaha menyusun kepingan puzzle itu.