“Jalan yang jauh jangan lupa pulang.” Kembali kepada rumah. Tempat di mana kita dilahirkan. Meski segenap manusia memulainya dengan kaki yang amat beragam: Kaki yang basah oleh hangat pasir pantai; tapak yang menguat-menebal dari hari ke hari; jejak yang terbentuk di atas tanah basah bakal padi; atau sepatu yang dingin dan bersih menyalak menginjak keramik kantoran. Tetapi masing-masing pasti punya luka pada tiap perjalanan. Luka yang mampir untuk tinggal selamanya pada ruas jari kaki, entah karena bertualang mengejar layang-layang, atau dunia yang terus terbang tak terkejar.
“Pesan-pesan yang selalu saja terngiang.” Dari sederet pengalaman-pengalaman serta lakon yang sudah kebal akan pahit getirnya kehidupan. Petuah mereka seakan-akan seragam: Tak apa terbang jauh meninggalkan rumah yang bentuknya pondasi saja, telaah makna dari berbagi, peduli, dan mengerti.
“Ku terbang jauh, kepak tak berbilang.” Melanglang buana ke negeri orang, menemui rumah teman hingga rumah Tuhan. Menggali nilai kehidupan, barangkali. Atau menelisik tiap puing yang berserakan di jalan: Mana yang butuh uluran tangan atau apakah nasi bungkus sudah cukup layak disebut sebagai ‘bantuan’. Jika belum juga menemukan jawaban, jalan satu-satunya adalah dengan terus berjalan.
“Lewati awan dan angkasa tak berbayang.” Mencari dan terus mencari. Mana rumah yang akan kutuju, mampir, untuk menetap dan merasa tenang. Apakah ini tentang seseorang sebagai tujuan, bangunan dengan bata dan semen yang tertata, atau menemui diri sendiri yang berada di jauh kedalaman hati.
“Cari mencari.“ Melipir rehat di teras kehidupan. Menyandarkan asa pada kerja, mengisi hari dengan tawa yang menguar ke udara bersama sahabat-sahabat hangat atau kekasih yang tidak pernah meninggalkan meski diri dikerumuni banyak kekurangan. Jika tak ada sesiapa yang bisa diajak diskusi dan berbagi, apakah berdiri di kaki sendiri lantas melanjutkan pengembaraan adalah sesuatu yang benar?
BACA JUGA: Pesan Ayah Untuk Putrinya: Saat Kau Telah Mengerti – Virgoun
“Untuk mengisi.” Sekadar mengisi. Kutambatkan pada apa atau pada siapa, aku tak tahu pasti. Kakiku terus melangkah. Kadang goyah. Kadang tegap dan seakan-akan mengerti hendak jalan ke mana. Mungkin kesendirian di tengah derasnya hujan tak begitu buruk. Mungkin mencari karib untuk sekadar menyandarkan punggung satu sama lain bisa berarti saling menguatkan. Atau mungkin menemui Tuhan dalam bentuk bersujud; menyanyikan bait pujian; mendaraskan doa-doa suci; mengatupkan kedua tangan dengan khidmat; atau membakar dupa wangi lalu melantunkan doa, adalah bagian inti tentang tenang dan merasa pulang.
“Lengkung hampa yang ingin terobati.” Membuatku terus-menerus dicerca kebingungan tentang sesuatu yang ganjil untuk menggenapi segala rumpang kehampaan. Harus ke mana, kepada siapa, apa makna pulang?
“Teruslah jalan terus berjalan.” Sebagaimana kehidupan memberi pelajaran. Pergi mencari untuk kembali pulang lalu mengerti. Meskipun berat kumelangkah, terhuyung atau limbung sekalipun, aku harus terus berpindah tempat, atau bisa juga berpindah rasa: sesuatu yang hanya dimengerti oleh hati.
“Kaki mungilku yang terus menahan beban.” Menerbangkan burung-burung dengan tanda tanya sebagai kicauannya dalam kepala: Sampai kapan rangkaian langkah kecil ini kuulang? Akan tetapi manusia adalah makhluk yang diberi akal. Mungkin pada suatu jalan-jalan setelah ini, kita bisa mulai berpikir dan menata ulang tentang makna tujuan, lebih memperhatikan hal-hal kecil, lalu menerjemahkannya dengan cara bersikap dan bertindak. Barangkali itu jauh lebih berarti. Mendekatkan diri dengan pengertian ‘pulang’.
“Sebentar lagi ku akan sampai tujuan.” Merasakan makna ‘nyaman’ tanpa perlu mendefinisikannya dengan cara yang rumit nan berbelit. Karena terkadang penjelasan tidak memberikan pencerahan. Berpegang pada keheningan dan kedamaian hati adalah peta penunjuk jalan pulang. Sebagaimana langkah pertama manusia yang penuh dengan keragaman, maka jalan pulang pun demikian: dalam diri tiap manusia, memiliki ‘pulang’-nya sendiri-sendiri.
“Lama ku nanti damai di diri.” Ikuti jalan yang ditempuh oleh orang lain, tapi nihil yang kurasa dalam hati. Banyak petuah dengan kalimat senada, ‘membuat jalan sendiri dan tak perlu terlalu khawatir’. Aku terus berjalan, terus melangkah. Sedikit pasti, banyak goyah, lantas berangsur menjadi sedikit goyah dan penuh dengan percaya.
“Rindukan terang rindukan Cinta Sejati.” Rindu itu, menuntunku ke haribaan jalan pulang. Hingga jalan yang kupilih terasa tak asing lagi. Sebuah jalan yang kukenal. Terus kutelusuri, semakin dekat, semakin lekat. “Getar di hati bertemu lagi”
“Rumahku pulang ternyata ada disini.” Aku pulang. Terima kasih atas segala jalan kehidupan: berliku, setapak, sepi, riuh, perempatan, berlumpur, berkeramik, dan kesemua-keragaman yang dialami dengan cara yang subjektif. Beda kaki, beda cara melangkah, juga lain makna pulang. Akan tetapi aku telah sampai. Amat tenang, lirih kuulangi: Aku sudah pulang ke rumah.
“Jalan Pulang – Yura Yunita“
Makna lirik lagu Jalan Pulang, dinarasikan oleh Mari Mengurai
2 Komentar