Hanya kelihatannya. Kakak bertamasya ke alam mimpi, Emak masak sedikit lebih banyak dari hari biasanya, dan seperti Thomas Shelby, asap rokok begitu ringan diembuskan Bapak tanpa ada gelagat kekhawatiran. Jangan tanya aku di mana, sebab aku hanya penonton yang kadang disuruh menjerang air untuk kopi para tamu, atau sesekali menghantar sanak keluarga yang tidak berani pulang setelah azan isya’ berkumandang.
Malam hari, seperti yang kubilang tadi, Kakak seolah tenang entah dengan tanpa mimpi atau berusaha meredam bunga tidur yang jika difilmkan akan membuat segerombolan calon manten gusar: telat datang ke acara atau lidah keseleo mengucap janji setia saya terima nikahnya.
Bapak, dengan sepenuh keimanannya berusaha membangkitkan takdir-takdir baik untuk esok hari. Bersama dengan Al-Qur’an pada surah entah berapa dan pada ayat tertentu, di teras rumah dengan pendar lampu yang terang, bapak meminta dengan segenap rasa menghamba pada Tuhan Rabb semesta alam demi kelancaran si anak.
Emak sebagaimana ibu-ibu ketika bocahnya punya hajat besar, ia langsung lupa apa gunanya makan. Yang ada dalam benaknya hanya waktu yang kian mepet dan terus menggencet kalau-kalau nasi belum rampung ditanak: ayam-tahu-telor tidak bisa memasak dirinya sendiri.
Bagi Kakak, belum selesai kutulis demikian riuhnya anggota sanak saudara atau tetangga atau karib sedesa, matahari pagi sudah cepat-cepat mengenakan jas lengkap dengan kopiahnya. Kalau sudah begitu, satu-satunya usaha yang wajib diusahakan Kakak adalah mengibuli mata: aku sudah cukup tidur.
Ini belum tentang nasi tercecer di ruang tamu sebab kanak-kanak dari sanak kehilangan mainannya, dan yang ada ialah nasi belaka. Dapur tak ubahnya kapal pecah yang porak-poranda diterjang badai kegusaran yang lahir dari hati seorang Emak. Dan teras rumah, adalah tempat bersantai bagi bapak untuk menampakkan ketidakgugupannya—meski yang tahu hanyalah dirinya dan Tuhan, apakah kata resah betul-betul tak ditemukan dalam kamus kehidupannya atau malah sebaliknya.
***
Sekejap sebelum berangkat, Bapak merampai segala jenis doa kepada Kakak. Aku yang cuma tahu doa makan dan doa sebelum tidur pun tersenyum sambil membayangkan betapa lancarnya hari besar ini: Tuhan menyayangi hambanya yang taat, dan Bapak, aku yakin termasuk di dalamnya. Maka doa-doa meminta yang tak ada berat-beratnya sama sekali di hadapan Tuhan bakal ringan dikabulkan begitu saja. Kun fayakun. Pagi yang masih demikian malu-malu itu pun turut memberi restu mengantar Kakak menuju rumah calon bininya.
Aku begitu malas me-list barang-barang hantaran manten di sini. Sebab itu sebagaimana hantaran biasanya yang penuh printilan kerlap-kerlip, pita merah jambu dan biru, berkotak-kotak kardus tipis rapi yang dijajar dengan isian roti kering, buah-buahan, handuk berbentuk entah dinosaurus atau hewan yang tak kutahu apa, dan wangi-wangi khas parfum minimarket terdekat. Dikarenakan mereka semua adalah benda mati, maka harus ada yang mengantar. Ialah Aku kemudian hadir mengisi satu kursi dari sembilan kursi yang tersedia dalam mobil. Sisanya diduduki oleh kanak-kanak yang suka main nasi, kerabat yang gusar pulang sendiri ketika malam hari, dan karib sedesa yang menunda jadwal pergi ke sawah atau ke pabrik tempat di mana mereka bekerja. Ini demi terpotret dan abadi dalam ingatan Kakak suatu hari ketika tua nanti, bahwa mereka yang dekat benar-benar menyempatkan.
Perjalanan yang menjelma rekreasi bagi tetangga sedesa yang jarang bertamasya. Menengok apakah sawah di tempat lain lebih asri terhampar ketimbang hijau padi miliknya sendiri. Akan tetapi yang terpenting demi kenyamanan dalam mobil adalah tak ada yang mabuk lalu memuntahkan isi perutnya. Sangat bagus karena sepanjang jalan memang tak ada tumpahan sisa sarapan. Roda pun kemudian sekadar menggelinding di aspal yang tak begitu mulus di jalanan Pantura area Babat-Tuban.
Tak butuh waktu lama, aku bersama rombongan menangkap suara bas yang bersumber dari sound hajatan. Tak salah lagi, kita sudah dekat! Rombongan menghambur keluar. Benar saja, saat itu kulihat Kakak bersama dengan calon bininya duduk bersebelahan, sedang di depannya ada pak penghulu, begitu dugaanku. Apa yang dilihatku dan dilihat Kakak bisa saja lain. Mungkin, apa yang ditangkap oleh sepasang mata Kakak dengan objek di depannya bukanlah seorang penghulu, melainkan guru bahasa inggris yang tak segan mencubit jikalau muridnya salah mengucapkan selarik kalimat. Sungguh teror yang menakutkan bagi murid yang tak fasih menghafal atau melafalkan.
Yang tercurah saat itu tak hanya kebahagiaan Emak-Bapak mengetahui anaknya sudah dewasa dan mau kawin, tapi juga keringat dari Kakak yang terbayang kalau-kalau salah menanggapi omongan penghulu.
“Qobiltu nikahaha…,” disambut kata “Sah” kemudian membuyarkan kemungkinan-kemungkinan kena cubit, juga napas lega tampak dari beberapa tamu yang masih melajang. Mungkin mereka tak lagi gusar dan memandang jika pun mimpi salah mengucap janji, maka itu mimpi belaka dan tidak berarti apa-apa.
Selebihnya, setelah penghulu pamit undur diri, segala formalitas-formalitas pun mulai mengisi waktu-waktu yang bahagia untuk sepasang cinta itu. Sesi pemotretan; Kakak yang sudah macam pesulap sebab gonta-ganti pakaian dalam hitungan menit; beberapa bulir tangis dari Emak ketika sungkem dilakukan—sedang bapak nampak turut trenyuh; dan satu-satunya bagian menyenangkan saat kondangan, semua orang mendapat jatah rawonnya masing-masing.
Azan dhuhur berkumandang bersamaan dengan pulangnya para rombongan, termasuk aku. Itu hari yang panas di hari senin, mungkin berkebalikan dengan Kakak yang menganggap bahwa kesejukan memenuhi rongga dadanya pada hari itu, mengingat semua kebahagiaan barunya telah dimulai.
Senin, 15 Mei 2023, berbahagialah sodaraku. Ini dari adikmu.
BACA JUGA: Merekam Tulisan