Berlindung dalam cangkang seorang teman

Aku cemburu, tapi aku tak punya kuasa atas itu. “Sebagus-bagusnya manusia adalah dia yang sadar” pernah dengar ungkapan itu? Aku mendapatkannya pada suatu kondangan yang santai. Di antara bapak-bapak yang bijak, juga terkadang kocak. Bagaimanapun kalimat itu begitu dalam kurenungkan. Sadar adalah hal yang baik. Sadar sudah semestinya dipupuk sedari belum mencintai seseorang, sedang mencintai seseorang, atau telah berpisah dengan seseorang—meski sebenarnya masih cinta.

Sadar akan posisi menjadi hal yang lebih penting ketimbang aku harus menyadari perasaanku. Kisah ini takkan serupa novel teenlit atau dramatis-semi sejarah seperti dalam karya yang bertajuk Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Kisah ini amat sederhana, bahkan mungkin saja kamu menjumpai kisah yang serupa dengan kisah ini di luar sana. Membludak. Sporadis di berbagai penjuru atau sudut kota sekaligus desa.

Aku mulai kisahnya dari sini.

Dia mungkin mendapatiku sebagai teman biasa: tertawa tidak perlu ditahan, apalagi sambil menutupi mulut dengan punggung tangan. Memaki juga tak perlu sungkan. Dan kalau ingin mengajakku bersepeda, dia tak perlu grogi atau malu. Karena aku baginya, adalah seorang teman biasa.

Ajakan bersepeda kuterima dengan senyum sekenanya meski sebenarnya hatiku bergemuruh-bersorak bahagia. Kegiatan mengayuh roda dua memang gemar kulakukan akhir-akhir ini. Bersamanya. Kelak saat hujan turun, aku mengenakan jas hujan sendiri dan tak mau berbagi dengannya meski sebenarnya aku membawa jas hujan dua buah. Berbagi jas hujan menurutku adalah tanda bahwa aku sedang kasmaran dengan dia. Ya, serupa dengan berbagi tempat dalam naungan payung yang sama. Dan aku, aku tak mau dia menganggapku begitu memedulikannya. Aku mungkin terang-terangan mengagumi dia, tapi di sisi lain aku tak mau kekaguman-mencintaiku ini begitu kentara di hadapannya. Wah, dia bisa besar kepala. Seperti Upin & Ipin, kepalanya besar, tapi badan-tangan-kakinya segitu-gitu saja. Merupakan petaka jika dia punya postur badan layaknya kartun Malaysia itu.

Bicara soal Upin & Ipin, fragmen cinta ini mungkin bisa diibaratkan layaknya Mail dan Mei-mei. Terang-terangan, tapi banyak yang tak sadar akan cinta di hati mereka—atau mungkin di hati salah satu dari keduanya. Aku diam-diam haus, dia diam-diam membelikanku minum. Terkadang sebelum itu, dia menawariku. “Chocolatos hangat atau dingin?”. Saat itu ia tanyakan, teringin hati bilang kalau aku suka yang hangat. Seperti tatapanmu dengan senyum yang memperlihatkan gigi gingsulmu itu.

Bagiku, mengagumi adalah tentang bagaimana aku bisa menjaga jarak. Jarak antara teman yang peduli, dan seorang gadis yang sedang jatuh hati. Kelak, kuharap akhir dari kisah ini adalah kebersamaan sejati: tapi bukan sebagai teman-sepermainan, mungkin lebih sebagai teman-serumah.

Hai, teman(kepunyaan)ku!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *