Entah cacing, entah apa, ada yang menabuh perutku. Di seberang, di bawah salah satu lampu jalanan, lihai sesosok pria berjibaku dengan uleg-an, tahu, dan telur. Lekas kupacu sepeda motor untuk mendarat di tempat duduk yang disediakan di dekatnya. Pria dengan skill yang jauh di atas mahir kala menjalankan bisnis dagang kecil-kecilannya.
“Tahu tek satu, mas”. Selang beberapa menit ketika tinggal bagian krupuk yang belum ditabur di atas tumpukan lontong dan tahu, mas penjual setengah berteriak tanya, “sendoknya dua ta, mas?” Kubalas dengan cara yang sama, “wah, satu saja, mas, ini bukan kayak yang di-film-film.” Barangkali mas-mas berkacamata bulat itu mengira bakal ada adegan romantis di lapaknya. Dengan aku yang membawa sepiring masakannya, ditemani kekasihku yang malam itu duduk di sampingku. Tapi tidak, beberapa orang menunjukkan sayangnya dengan menyuapi kekasih, sementara yang lain tidak terlalu suka hal-hal semacam itu, terlebih di tempat umum. Barangkali aku lebih cocok dengan yang terakhir. “Sampean jawa mana, mas?” dari cara dan bahasaku memesan makanannya, peracik tahu tek ini merasa tidak asing. Kujawab seadanya, dari Lamongan yang bukan kota, sedang perempuan di sampingku ini malah lebih jauh dari Lamongan kotanya. “Aku ya dari Lamongan desa. Sugio, mas” ujarnya. Tak heran, sisi Madura yang paling dekat dengan Surabaya ini memang sering diisi dengan orang-orang yang berdomisili sama denganku. Entah penjual tahu tek; nasi goreng; lalapan, atau kekasihku sendiri. Aku tidak bertanya tentang umur, tapi kalau boleh menjadi dilan sesaat, kuramal ia sekitar 30 tahun. Pria ramah yang mendukung (atau membolehkan) lapaknya diisi dengan adegan suap-menyuap—maksudku secara harfiah, bukan yang terjadi di negara entah mana.
***
Kamu harus tahu, berpasang-pasang kekasih lebih sering membual sesuatu yang tidak benar daripada kicauan burung yang menyentuh telinga tiap orang yang ada di desa. Kupikir penyelamat perut lapar yang ada di depanku ini juga tahu akan hal itu. Jelas pengalamannya lebih banyak, kalau dilihat dari faktor usia. Namun, aku tidak tahu pasti pengalaman mana dan apa yang memenuhi separuh buku kehidupannya. Aku berhenti menilai orang, enggan berpikir yang bukan-bukan, dan fokus pada lontong saja.
Bangkalan, khususnya daerah Telang, merupakan tempat bermacam-macam orang yang ingin mengubah nasib. Mahasiswa dengan gelar setelah kelulusannya, pedagang dengan pundi-pundi rupiahnya, atau warga lokal pemilik kost dan kontrakan yang dengan senang hati memberikan kemudahan juga kemurahan pada sesiapa saja yang ingin tinggal sejenak, atau menetap agak lamaan.
Tempat semacam surga bagi orang-orang yang gemar nongkrong. Dari diskusi organisasi dalam kampus, hingga diskusi luar nalar. Mencicil skripsi, hingga belajar mengerti teori. Atau yang lebih banyak ditemui di sini: cerita-cerita keseharian dari mahasiswa biasa. Tidak seperti kampus di kota-kota sebelah dengan bioskopnya, di sini, area pelabuhan timur sudah semacam tempat “meremang” yang strategis bagi kaum-kaum romantis penggila aroma laut malam hari atau mungkin aroma parfum sang kekasih. Agak menjorok ke dalam pelabuhan tadi, ada warung yang menampung segala jerit, tangis, dan nada sumbang yang biasa dikirim sekelompok mahasiswa entah untuk siapa. Bisa untuk dosennya, atau kehidupan yang makin ke sini makin tidak jelas, atau untuk puing-puing cinta yang menghambur tidak karuan di belakang hari.
BACA JUGA: Semangka Segar Terakhir di Ladang Kala Musim Paceklik
***
Sedikitnya pilihan tempat untuk meluapkan perasaan, barangkali membikin penjual tahu tek mengerti dan sedikit memaklumi. Toh suap-menyuapi antara lelaki dan seorang putri tidak pernah membahayakan siapa pun. Segera setelah satu piring tandas, aku meneruskan perjalanan dengan gadis yang diduga pacarku itu. Aku yang tidak mau mainstream sebagaimana tempat-tempat orang-orang memadu kasih pun mencoba memutar otak, “aku harus menemukan tempat yang belum pernah dijamah oleh orang. Tak peduli akan memutari jalan atau lautan seperti halnya Columbus.” Telang sudah dijajaki muda-mudi. Sedangkan Gang texas, bagi beberapa orang yang tahu, terlalu eksplisit menurutku, meski tempat itu amat aman dari laporan-laporan warga. Akan tetapi, bukan tempat semacam itu yang kuperlukan.
Angin malam mencium pipiku dan pipinya, tapi kami berdua sepakat untuk tidak cemburu satu sama lain. Angin itu kerap kupanggil sebagai “angin lalu”. Meski menyandang gelar Malang, akronim dari Madura Telang, tetapi sejuknya siang takkan kau dapati di sini. Baru ketika matahari lindap, dan bulan mulai dikerek oleh Tuhan ke angkasa, dingin perlahan menusuk masuk di antara kain-kain yang kami kenakan.
Roda terus berputar, mendekati arah laut. Aku memilih ke suatu tempat di Surabaya. Terakhir kali aku bermimpi, ada satu zona di sana yang belum atau tak pernah dijamah oleh manusia. Aku tahu ini terdengar aneh dan terlalu mengada-ada, tapi izinkan aku merampungkan tulisan ini dulu.
Dua ratus meter akan memasuki jembatan suramadu. Jembatan terpanjang yang pernah kulalui. Di atas debur ombak, ada gajah. Tidak. Maksudku, kami bercakap tentang hewan apa yang baik. Gajah kemudian tiba-tiba muncul di atas suramadu. Kutanya, “kenapa gajah?”. “Ya kan gajahat!”. Oke, sebentar lagi mungkin lelucon-lelucon ronda komplekan bakal menggelegak keluar dari mulutnya. Cepat tak terasa, sekitar seratus meter lagi, ban motor kami sudah menggilas jalanan Surabaya bagian utara. Barangkali gajah dengan kebaikan hatinya ikut mendorong motor, agar kami lekas sampai tempat tujuan.
Sementara bulan terus meninggi, aroma parfum anak baru gedhe menyeruak masuk ke hidungku. Aku tak tahu apa aroma yang sama juga masuk ke hidungnya, soalnya aku tidak ikut punya hidung. Rasa coklat, vanila, fresh, buah stroberi, blueberi, dan sejenisnya. Sebuah tanda bahwa aku telah memasuki wilayah khalayak pacaran. Pandanganku tertuju ke arah penjual bola-bola daging. “Pentolnya, pentolnya, rasakan pentol ini dan mari masuk ke dunia penuh warna.” Terpikat dengan celetuknya, kami melipir. “Lima ribu, buk. Mau beli sepuluh ribu kok takutnya dagangan ibuk cepat habis, nanti kasihan tidak ada lagi yang dijual.” Ibuk itu menyunggingkan senyum. Handuk kecil kumal yang dikalungkan di lehernya membuatku beranggapan bahwa ia adalah pedagang yang militan. Boleh jadi juga merangkap menjadi tulang punggung keluarga.
Bulu kudukku berdiri entah kenapa. Merogoh saku, kujumpai uang sepuluh ribuan, lantas kubayar. “Ini pentol beda dari yang lain, nak. Coba saja.” Suasana terasa aneh, aku melihat senyum ibuk itu terlalu dibuat-buat. Entah karena lelah, atau karena pandangannya yang sinis kepada lelaki dan gadis yang berboncengan. Tidak terlalu kugubris, motor kembali kunyalakan, ban menggelinding dengan laju dinamis. Sekitar dua puluh meter telah memunggungi pedagang pentol tadi, kekasihku mencuri intip ke belakang. “Ibuk dengan motor matic beserta dagangannya tadi hilang!” Terkejut, satu pentol yang sudah masuk ke dalam kerongkonganku pun terasa macet tidak bisa kutelan. Kembali aku melipir ke dekat trotoar di bawah pohon kersen. Aku masih ingat itu masih di Surabaya, tetapi agak jauh dengan jembatan suramadu. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, plastik berisi saos, kecap, dan pentol itu pun kubuang. Namun, kabar satu bola daging yang sudah menjamah kerongkonganku itu tak bisa kumuntahkan, seret. Daripada mati tercekek, kudorong saja pentol tadi dengan minuman botolan.
Kepalaku mulai berat ketika kudapati dalam kerongkongan sudah tak ada yang mengganjal. Ia barangkali sudah diseret paksa oleh air untuk masuk ke babak selanjutnya: menuju lambung. Kunang-kunang mendadak hinggap di mataku. Lampu-lampu jalanan berpendar kabur. Otot terasa lemas. Persendian seakan-akan lunglai. Sepersekian detik aku sadar kakiku tak kuasa menahan motor. Kekasihku berteriak samar-samar dan jauh. Tubuhku ambruk ke sisi kiri. Aku tak sadarkan diri.
***
“Ini kembaliannya lima ribu, nak. Nak! Nak!” Pinggang bagian kananku sakit. “Hey! ituloh kembalianmu! Ditungguin ibuk penjual e!” Aku tersentak, bangun. Seketika aku berada di tempat tadi. Dengan ibuk yang masih mengenakan handuk kecil di lehernya. “Iya, endak usah nyubit gitu!” ujarku kepada kekasih sembari menegakkan kepala yang entah kenapa aku tak sadar bisa nempel di kepala motor. Ibuk penjual tadi senyum. Nampak hangat dan bersahaja, sangat beda dengan yang tadi. Kuterima uang kembalianku itu dengan membalas senyumnya sambil berterima kasih. Kemudian dengan mata yang terasa segar kembali, sel-sel otot menguat berfungsi sebagaimana mestinya, lirih kukatakan kepada kekasihku, “kita balik pulang saja, ya?”
***
Mungkin aku masuk angin, halusinasi, atau aku sedang membualkan cerita yang tidak benar. Itu jika kau tahu maksudku sejak cerita ini dimulai.
BACA JUGA: Penulis Pemula dan Proses Kreatifnya
1 Komentar