Ini antara aku, dan mataku. Pada waktu yang sungguh sesuatu, kita bertemu. Bertatap pandang dalam detik yang lama. Aku menghadap ke barat, sedang kamu menghadap ke arahku. Kita duduk bersama dalam angkutan umum jurusan pendidikan, yang cerahnya secerah matahari, yang gelapnya kita telan sendiri dan pihak sekolah tak ingin orang-orang mengetahui.
Hari itu kerudungmu terbalik. Entah kenapa kau atau ibumu tak menyadarinya. Satu langkah aku maju dalam angkot pengap bercampur amis yang dibawa ikan-ikan dalam bakul. Sekejap hampir kuketuk mulutku sendiri, tapi urung kulakukan karena aku ragu apakah sopan mengingatkan kerudung yang terbalik pada orang yang tak dikenal. Kau turun duluan, aku menyusul kemudian.
Perbedaan sekolah membuatku jarang menemuimu. Itu juga yang menjadi sebab kenapa kita tak pernah turun satu waktu dalam angkot yang kita tumpangi bersama. Ini antara aku, dan mataku. Tak pernah kutahu namamu, tapi mata itu, senyum itu, dan kerudungmu yang terbalik itu.
Cinta pandangan pertama hanya diturunkan oleh mata, sebelum sempat bibir mengucap satu kecap, sebelum sapa menguar membubungkan bunyian dalam udara, sebelum aku mengetahui namamu beserta sesuatu di balik itu.
Kelak kemudian aku tahu kalau kau dua tahun di atasku. Itu kusadari semenjak angkot tak pernah mengangkutmu kala aku duduk di bangku kelas dua. “Barangkali ia sudah lulus, ini salahmu sendiri tak pernah berani mengajaknya berkenalan atau sekadar bertukar nama.” ujar temanku.
Suatu waktu aku melempar tanya kepada temanku yang rumahnya dekat dengan tempat di mana gadis itu biasa mencegat angkot. “Senyumnya adalah lampu minyak di tengah desa yang belum dialiri arus listrik. Kau tahu rumahnya?” tanyaku. Dan ternyata temanku itu tahu. Rasa ini, serupa dengan anak-anak yang sedang bermain-menyalakan kembang api. “Ia bermukim di dekat masjid Al-Muttaqin, rumah dengan warna biru. Ia lulus sekitar dua tahun yang lalu.” katanya.
Kalau saat itu aku gemar berpuisi, mungkin sudah dua buku dengan ratusan halaman kuberikan padamu: sederet puisi tentang angkot, sekolahan sebelah, mata, senyum, atau kerudung terbalik, menjadi tema yang begitu kekal melekat dalam buku dan juga ingatanku.
Tapi tidak, waktu itu aku gemar menggambar, itulah sebabnya kuberikan wajahmu dengan piguranya sekali. Agar kau pajang itu di dinding dengan perasaan mewah tanpa merasa bersalah. Agar kau tahu bahwa cinta memiliki asas praduga tak bersalah. Setidaknya aku beranggapan bahwa tak ada cinta yang salah, sebelum Tuhan yang memutuskan akan kebenaran dan kesalahan pada cinta itu sendiri.
Penyair bakal memanfaatkan segenap kiasannya. Pelukis bakal menandaskan seluruh catnya. Sedang pengamat sepertiku, bakal benar-benar terpaku seharian penuh—maju mundur untuk sekadar berkenalan denganmu. Ini antara aku dan mataku. Tentang bagaimana cinta pandangan pertama begitu menguasaiku.
2 Komentar