Seolah-olah awan yang berarak dari barat menuju timur laut turut serta mengantarmu agar lekas sampai pada pemberangkatan hari itu dengan tepat waktu. Aku yang bukan siapa-siapa dibanding awan pun hanya bisa tersenyum ragu. Seketika akal menyudutkanku, apakah setelah kau berangkat, yang tersisa adalah lupa? Atau rindu mulai mencekikku tiap siang menuju senja.
Karcis parkir biar aku yang bawa, ingatan kali terakhir karcis masuk ke tas-mu sudah laksana mencari jarum ditumpukan jerami. Sempat kau buat aku heran dengan apa-apa yang ada dalam tas-mu: uang, cermin, tisu, masa lalu, dan aku.
Dengan sesuatu di balik dadaku yang berdegup gelisah, kau menyeretku agar cepat menuju peron. Raut wajahmu begitu riang. Entah aku yang salah tangkap atau memang di antara kita, cuma aku pemilik degup resah di dada.
Ruang yang menyajikan pertemuan dan perpisahan secara bersamaan itu nyatanya sama-sama membuat rima jantung tak menentu. Bagi mereka yang duduk menanti perjumpaan, debar degup jantung bakal menderu laksana Peluru Shrapnel yang siap didesingkan oleh meriam, ketika sang puan atau tuan tengah saling bertatap pandang.
Sedang bagi mereka yang berdiri berpasang di ujung jurang perpisahan, akhir dari duduk di peron adalah awal dari kangen tidak karuan dan do’a yang bakal dirapal sedemikian padatnya.
Aku terkesan, kenapa jingga terang matamu malah menggila cantiknya hari itu, adakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa prosesi perpisahan senantiasa bernuansa melebih-lebihkan. Sedih adalah hujan yang tiap tetesnya menjelma butir rentetan peluru bedil. Haru adalah bendungan air mata yang mendadak bocor menggenang di teras sepasang mata. Dan kesenangan hanyalah riasan semu yang dipasang oleh badut komedi ketika beraksi di atas panggung pertunjukan.
17.05, sepuluh menit lagi kau masuk ke gerbong kereta. Aku mulai mengharapkan sesuatu yang tidak masuk akal. Andai aku belajar hipnotis jauh hari, pasti sudah kubuat kau percaya bahwa kereta api hanyalah mitos, dan sesuatu di balik dada ini begitu nyata akan fakta. Juga, janji yang dulu pernah kubuat lebih kuat dari tanda tangan yang terbubuh di atas materai sepuluh ribu.
kugenggam tanganmu, kutekan kuku kelingkingmu sembari bertanya dalam kepala. Adakah rasa itu di sana? Adakah barang sekelumit kuku kelingking saja? Lalu kau tersenyum tersipu malu.
17.10, keramaian mulai celingak-celinguk ke arah datangnya kereta. Ada yang melihat jam tangan sambil menggertakkan gigi. Entah siapa yang ditunggu, barangkali kekasihnya, mungkin juga semua kenangan yang tak mungkin terulang lagi di kota seberang sana.
BACA JUGA: Cinta pandangan pertama
Ada pula yang menggendong mendekap anaknya yang masih lima tahun, mengecup keningnya berulang-ulang. Entah ritual apa yang dilakukan bapak separuh baya itu. Atau mungkin bukan ritual, tapi semacam menabung. Sebab suatu ketika lintas kota bakal membabat habis kenangan akan anaknya, maka saat itu, bapak itu pun terpaksa memecahkan tabungan ingatan berupa kecup yang kedua, ketiga jika masih saja kangen, dan kecup seterusnya akan lekas ciut, lalu tandas.
Tersisa lima menit lagi, apa harus kuikuti laku dari bapak tadi?
Dengan mataku yang mendung muram, cepat kau tarik lenganku agar lekas berdiri, hangat kau lingkarkan lenganmu pada pinggangku. Erat seperti tak mau kehilangan. Seketika mendung muram beringsut tergantikan oleh panas tubuhmu.
Pelukan seperti anak kepada bapaknya, atau seorang adik kepada kakaknya. Aku tak tahu, kusampirkan seluruh kegusaran itu, lantas kubertahan selama mungkin dalam lorong waktu. Tapi tetap saja tak bisa, aku tak punya alat pengendali waktu, terlebih sesuatu yang dapat mengendalikan inginmu.
Satu kali kedip, kau lepas lengan yang sepersekian detik melingkar, aku kembali gusar. Dengan tas punggung yang besarnya hampir dua kali punggungmu itu, kau masuk ke lorong kereta. Tiga langkah sebelum masuk, kau berpaling, melambai dengan tangan yang kukira takkan pernah lagi kugapai. Tersenyum manis dengan binar mata yang agak mengejutkanku.
Genangan apa yang ada di ekor matamu itu?
2 Komentar