“Kau tahu cinta? Ya…ya…ya, setelah tanda tanya itu, orang-orang berubah menjadi filsuf. Cinta adalah aku dan kamu. Cinta adalah ampas kopi yang menempel pada bibirmu. Atau cinta ialah terdiri dari rindu, pulang, dan angkringan. Ups! Ada yang salah, ya?”
Kau mengernyitkan dahi saat itu. Aku sengaja menggodamu dengan memelesetkan penggalan sajak dari penulis yang kau idolakan. Aku salah. Tapi kau sudah tahu bahwa aku manusia, terlebih aku laki-laki. Sekarang kendurkan garis tegas alismu itu. Dengar aku. Kalau pun apa yang akan kukatakan ini ialah tak lebih dari sebuah kesalahan, maka ingat saja bahwa aku laki-laki dan aku manusia.
Itu percakapan konyol kita. Aku sedang mengendarai mesin waktu sembari menatap langit plafon. Jika dulu kau adalah perempuan yang paling kusayang setelah Ibu, maka sebenarnya sampai saat ini juga begitu.
Ibu. Satu-satunya figur nyata dalam hal “menyayangi” kudapatkan dari satu manusia itu. Terang kusebut manusia sebab 22 tahun masa pencarianku akan sayapnya tak kunjung ketemu. Mungkin asumsiku salah. Atau mungkin aku yang kurang teliti saja.
Kata dasar dari menyayangi adalah sayang. Mau lanjut kuteruskan tentang definisi kata “sayang” atau silakan kau buka kamus bahasa Indonesia? Ngomong-ngomong di google juga ada KBBI. Kusarankan kau untuk memilih yang terakhir. Lakukan itu juga untuk tahu definisi “cinta”.
Syahdan kata sayang dan kata cinta merupakan karib yang lengket. Banyak yang salah memanggil cinta dengan sebutan sayang, begitu pula sebaliknya: menyeru sayang dengan panggilan cinta. Akan tetapi kembar seiras itu tak pernah mempermasalahkan. Keduanya karib dan keduanya sama-sama berada di setapak jalan ketenangan.
Ketenangan merupakan jalan yang ditempuh oleh para pencinta dan penyayang dan bisa juga keduanya. Jalan yang sekaligus boleh berubah bentuk menjadi tujuan utama. Seperti saat kau sedang jauh dari kepulan asap akibat nasi yang ditanak ibumu, lalu diseberang jauh sana, dengan matanya yang mulai digerogoti rabun tua, ibumu menatap layar gawai, mencari sisa-sisa huruf yang tak samar dan mengandung namamu, menekan gambar telepon kecil berwarna putih, menunggu dengus rindu yang terpaksa kau tutupi dengan napasmu, berkata “halo” dan lalu ibumu itu bakal bertanya apa kau sudah makan. Ia tak peduli apakah tubuhnya tengah lapar atau apakah cacing dalam perutnya sedang menyalakan obor karena mengamuk. Mengisi perut yang keroncongan tak mampu mengusir gusarnya. Hingga ketika kau menjawab sudah makan, maka selayaknya sulap, ketenangan tiba-tiba memenuhi rongga dada ibumu.
Aku percaya dengan larik yang ditulis oleh Weslly Johannes, bahwa mencintai adalah kata lain dari memiliki hati seorang ibu.
Hati ibu yang (harus) rela jika suatu saat nanti anak gadisnya akan bertemu dengan lelaki yang pantas. Maka sebagaimana ibu, aku seyogyanya juga begitu, kan?
KRIING!!!
Suara itu membuyarkan lamunanku.
Kau tiba-tiba menelpon setelah dua tahun kita berpisah.
“Halo, apa kabar?” tanyamu.
Bergetar, kujawab,
“Apa kau makan dengan baik?”