Bayi yang baru saja lahir ke dunia, kenapa posisi tangannya seakan-akan mengepal dengan kuat? Sedang orang yang baru saja mati, kenapa posisi tangannya berbanding terbalik dengan saat ia dilahirkan: seakan-akan melepas pasrah.
Tangan yang mengepal dengan kuat merepresentasikan keinginan menggenggam dunia, apapun yang diinginkan harus segera didapat: egois. Sedang tangan yang melepas pasrah adalah pertanda sudah tidak ngurus duniawi, pasrah: berserah diri.
Setidaknya kurang lebih begitu pernyataan dari abah yai: guru ngajiku. Lahir dengan keegoisan, mati melepaskan semua hal yang berbau keduniawian.
Dan di antara lahir dan mati, ada tumbuh; berkembang; dan menua.
Saat masih duduk di bangku TK, barangkali putri kecil akan mendamba pangeran tampan berkuda putih untuk dijadikan suaminya kelak. Tumbuh beberapa tahun sudah beda lagi, ingin punya kekasih geng motor; jago berkelahi; dan ganteng, sebelas dua belas dengan tokoh Dilan yang digambarkan di film. Beranjak memasuki SMA, ada perubahan lagi, ingin punya pacar tampan yang punya mobil mewah. Kemudian duduk di bangku kuliah, ya beda lagi, ingin punya pasangan yang sama-sama cinta; sefrekuensi; yang bikin nyaman. Saat sudah bekerja, keinginannya berubah pula, yang penting laki-laki itu bekerja dan berani melamar ke rumah.
Diawali dengan pangeran tampan berkuda putih, diakhiri dengan “yang penting laki-laki itu bekerja dan berani melamar ke rumah”. Tumbuh dewasa barangkali adalah masa di mana tuhan perlahan mengungkap eksistensinya melalui sinyal yang kadang bisa kita tangkap, kadang juga tak masuk di akal.
BACA JUGA: Cinta pandangan pertama
Contoh kecilnya ya kisah karanganku di atas, tentang keinginan bersanding dengan “pria yang seperti apa”. Keinginan muluk-muluk di awal, dan diakhiri begitu saja dengan keinginan yang realistis cenderung pasrah.
Menyinggung soal pendamping; kekasih; jodoh, sebaiknya dengan siapakah kita menikah? Harus dengan yang saling cinta seperti halnya representasi pinta pada kepal tangan bayi, atau tidak mesti harus dengan yang saling cinta, tawakal dan berserah diri seperti halnya tangan yang pasrah?
Saling Cinta dan Lanjut Menikah
Pernah tahu istilah:
“Beberapa orang memang ditakdirkan hanya menetap di hatimu, tapi tidak dalam hidupmu”
Ya, barangkali epigram itu bisa merepresentasikan tentang sesak cinta yang tak bisa lanjut ke jenjang menikah.
Lalu, apa kabar dengan yang tidak beruntung satunya? Menikah dengan yang tak dicintainya. Tentu aku tak bisa se-ringan mungkin; membabat habis; memukul rata dengan menjawab pertanyaan itu dari sudut pandang agama, semacam “Ya tetap sabar, dan bersyukur, tuhan tahu yang terbaik.” Tapi jika pernyataan itu membuatmu lega dan berserah diri pada-Nya, maka kuucapkan ‘Alhamdulillah’. Jika tidak, maka kau harus tahu bahwa ‘cinta’ bukanlah satu-satunya faktor untuk ‘menikah’
Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa menikah tak ada kena mengena-nya dengan cinta.
“Kelak saat sudah nikah, remaja-remaji seperti kalian ini akan sadar kalau menikah itu tak perlu cinta. Hal-hal yang dilakukan setelah menikah itu tidak tentang ‘sama-sama nyaman’ atau melakukan ‘deeptalk’ dengan syarat harus ‘sefrekuensi’. Tapi tentang token listrik berkedip siapa yang isi, keran di kamar mandi sudah dimatikan apa belum, siapa yang bertugas mengganti popok dedek bayi, dan seputarnya.”
Kendati demikian, jika dikatakan apakah keinginan ‘saling mencintai lalu lanjut menikah’ adalah hal yang muluk-muluk, kurasa tidak juga. Tapi bagi siapapun yang dapat melakukan itu, mungkin mereka adalah pasangan yang beruntung, beruntung mendapatkan kepuasaan hati.
Ceracau perihal menikah dan mencintai, tak lengkap bila tak kuselipkan kutipan yang melegenda sejagat nyata dan maya dari Sujiwo Tejo.
“Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa”
Sujiwo Tejo
Di sini aku tak bermaksud untuk menjelma menjadi mimpi buruk bagi para pasangan yang kerap diliputi sensasi kupu-kupu dalam perutnya. Tapi sekadar sebagai pengingat, bahwa ‘fakta di lapangan’ tak seindah novel roman.
Saling mencintai dan dengan siapa kau akan menikah itu bisa jadi hal yang tak sehaluan. Jika pun sehaluan, maka syukur Alhamdulillah.
Jika tidak, mungkin tuhan sedang menunjukkan Ke-Mahatahu-anNya dengan memberikanmu seseorang yang kamu butuhkan.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Surah Al-Baqarah: 216

Anak kesayangan Emak