Merekam Tulisan

cerita harian diary catatan harian

Agak merasa durhaka memang, tapi begitulah bapak. Mungkin bapak kamu juga begitu. Pura-pura tidak apa padahal sedang menahan duka; pura-pura sehat bersikap tenang, tapi kenyataannya bapak diam-diam banyak mengambil rehat. Semoga di perjalanan nanti, aku punya alasan yang kuat daripada hanya sekadar “bimbingan skripsi”, pikirku.

Agak dingin, suasana setelah sahur dengan pintu rumah sengaja dibuka memang seperti itu. 15 ramadan. Tadinya aku tak mau bilang semacam “tak terasa ya, lebaran tinggal 15 hari lagi,” tapi kenyataannya memang demikian.

Sudah tidur cukup agaknya membuat mataku tak mau bermalas-malasan lagi setelah mendekati waktu subuh. Kuguyurkan air dari gayung. “Waduh, tumben beliau ini mandi jam segini. Apakah beliau ini akan menjadi seorang beliau, ya?” ujar mataku yang tambah melek setelah digosok dengan air.

Aku bersiap mengepakkan sayap kebhinekaan, maksudku mengepakkan barang-barang yang kuperlukan. Mengenakan kaus, celana, dan printilan-printilan yang di dalam (yeah bahaya kalau tidak memakai anu yang dalam-dalam itu pokoknya). Meminta izin kepada Mak dan Bapak, kemudian berangkat mengendarai motor kepunyaan kakak.

Ketika memohon izin, kekeh kusarankan bapak untuk periksa ke dokter nanti sore. Semoga hanya sekadar menggigil biasa karena hujan waktu lalu, dan bukan sesuatu yang besar atau serius. Amiinn.

Aku tidak memakai sarung tangan karena tanganku tidak sedang mau melakukan sholat. Dingin memang. Pagi yang masih sangat temaram. Jalanan begitu lengang dengan satu dua motor yang berlalu-lalang. Truk-truk yang barangkali kejar setoran mendominasi jalan. Cahaya kuning dan putih saling berpendar berkejaran. Dari lampu-lampu jalanan, juga dari sorot kendaraan di seberang arah.

Embusan angin cukup kuat pada kecepatan 80km/jam. Sesekali badanku terasa sejuk, beberapa kali embusannya membawaku ke masa kanak-kanak. Bukankah kita selalu memiliki tempat-suasana-waktu yang mendukung untuk mengulang masa-masa indah itu? Dan jalan raya pagi-pagi buta acap kali membawaku ke sana.

BACA JUGA: Seni

Aku tidak melamun, hanya berpikir betapa berwarnanya tahun-tahun itu. Perasaan di atas satu motor dengan bapak, mak, kakak, juga aku. Perasaan kepulangan bapak dari sekian bulan lamanya pergi bekerja di beda pulau. Perasaan ketika Emak bertanya, “dapat apa di sekolah hari ini?” yang dilanjut dengan perintah tidur siang. Atau perasaan ketika kakak menggodaku; aku berkelahi dengannya; aku melaporkannya pada Emak.

Tadinya aku mau menceritakan (dengan media tulis) apa saja yang kurekam saat di perjalanan, tapi separuhnya memang didominasi oleh pikiran tak sadarku yang melayap bersama keluarga di masa silam. Namun, kembali ke masa itu harus kusamakan dengan keadaan menatap spion ketika berkendara: sekenanya dan beberapa saat saja. Sampai kemudian aku sudah sampai di Gresik.

Jalan yang kulalui adalah sisi Gresik yang tak banyak lampu merah. Entah karena jalanannya yang sudah ramah dan tak perlu diatur terlalu ketat, atau karena nyala lampu penduduknya yang sudah terang benderang. Watt yang kecil untuk UMR kecil, watt yang besar untuk UMR yang lumayan. Lalu kubandingkan dengan Lamongan beserta rumah yang berjajar di sana. Sudah jelas Lamongan lebih redup ketimbang Gresik. Lucunya, lampu merah di Lamongan bahkan ada yang dibiarkan jadi lampu hitam. Mungkin yang berwenang sedang ingin menjadikan masyarakat Lamongan menjadi warga yang lebih waspada tanpa rambu-rambu: stay tolah-toleh kanan kiri, lur.

Matahari memulai jobdesk-nya. Menyembul keluar dari perut bumi di bagian ujung timur. Di antara klakson yang memekik meramaikan pukul enam, ada bapak-bapak di depanku yang turun dari truk kontainer yang ia sopiri. Nahas, badan panjang truk itu tersangkut di area perlintasan kereta api. Itu rel yang berada di jalan dekat terminal osowilangun. Keadaan yang bikin para pengendara lain termasuk aku melongo. Setelah memberikan bantuan, mungkin sikap yang lumrah dilakukan adalah mendoakan semoga tak terjadi apa-apa. Kuharap kereta api tidak melintas dalam waktu yang dekat. Aku kurang tahu apakah itu situasi yang berbahaya, atau sudah biasa terjadi. Lalu jalan keluar apa yang akan ditempuh? Kalau kalian tahu lebih jelasnya, bisa komen di bawah.

Tak ada lolongan kapal yang hendak bersandar di pelabuhan. Kupikir masih jauh, tapi jalan yang begitu tenang seakan-akan menyihirku. Membawaku sampai ke arah pelabuhan tanjung perak. Belum menyentuh pukul 7, aku membelokkan arah menuju jembatan suramadu. Ya, kapal beroperasi paling dini jam 7. Pilihanku menyeberangi selat Madura lewat suramadu berakhir cantik.

Kuharap kamu bisa menjadi mataku pada pagi yang berkabut itu. Di atas laut yang menimang beberapa sampan nelayan. Di tengah asap putih yang menyegarkan, perjalanan 20 menit mengarungi jembatan suramadu sudah serasa asri jalanan desa tanpa polusi. Angin sedang bersahabat, tak ada terpaan yang berarti, hanya embusan mesra yang mengusap dahi.

Memasuki wilayah Bangkalan, aku disambut beberapa banner. Ada banner selamat datang di Bangkalan tentunya. “Ah, iya, terima kasih sudah disambut” aku tersenyum. Di samping pemandangan hijau yang dipenuhi oleh pohon-pohon, aku menemukan banner yang agak janggal di sebelah kiriku. Itu setelah 50 meter keluar dari suramadu.

Diskon 40% pakaian muslim”

Wow, 40% pakaian muslim, ini boleh jadi yang 60% non muslim. Memangnya bagaimana cara kita menilai seberapa persen tingkat kemusliman pakaian? Lagi pula aku belum pernah melihat ada pakaian yang syahadat atau melakukan sholat secara mandiri. Sungguh aneh, bukan? Atau aku yang aneh? Sebelum aku tidak jelas dan terlalu ngalor-ngidul, aku hampir sampai di tujuan.

Hendak mencapai titik koordinat tujuan, mataku dimanjakan dengan hijau hamparan sawah berikut samar gunung yang berada di nun jauh. Kurasa itu gunung kapur, tapi aku belum bisa memastikan sebab belum pernah menapakinya. Tapi soalan sawah, itu jauh sangat asri, banyak petani yang sedang bergulat dengan ilalang, atau menggemburkan tanah bersama sapi kesayangannya.

Selang lima menit, aku sudah sampai di kampus. Duduk di masjid dan mulai mengetik ini. Rekam tulisan perjalanan dari rumah menuju kampus pada Ramadan ke-15.

1 Komentar


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *