Perjalanan Menonton Tawuran

crows zero tawuran jurnal pribadi

Apa yang kami tatap pada layar seakan-akan membikin mata dan jiwa kejantanan kami merasakan orgasme. Kami tidak memiliki latar belakang petarung jalanan. Kehidupan di SMK juga berjalan dengan normal. Lebih tepatnya, kami tidak pernah sekalipun terlibat dalam laga bergengsi yang sering dihelat oleh pelajar STM. Tawuran. Namun, kami berempat sepakat bahwa kenikmatan akan lamunan heroik yang bisa memanjakan jiwa kejantanan kami ialah berasal dari film bergenre action. Apalagi dengan lakon yang tampan, tengil, dan mengenakan pakaian yang menyala.

19 januari, aku bersama tiga sokhabatku itu berencana untuk mampir ke Icon Mall, Gresik. Tidak untuk berbelanja, melainkan untuk memanjakan mata dengan menonton adegan heroik dari lakon yang tampan sekaligus banyak tingkah, juga mengenakan pakaian serba glamor. Film itu bertajuk High & Low: The Worst Cross. Aku juga menceritakan pengalaman sekaligus opini pribadiku soal film tersebut dari sudut pandang penonton laki-laki di media semilir.co. Silakan baca apabila dirasa menarik. Film Jepang ini secara garis besar menceritakan tentang tawuran yang digalakkan oleh anak SMA sederajat, yang dibagi atas beberapa fraksi. Kenapa aku dan ketiga sokhabatku ini menontonnya? Alasannya sudah kutulis di awal paragraf. Kendati demikian, atas apa yang kami tonton tidak serta-merta menjadikan diri kami sombong atau berlagak seperti jagoan. Sebab kami paham bahwa “ini” semata untuk hiburan, dan kami tetap waras untuk menjalani hari-hari dengan normal. Kami juga paham bahwa kami bukan CJ (tokoh utama dalam gim GTA) yang bisa seenak udel melakukan tindakan amoral.

Memakan waktu sekitar 30 menit dari Lamongan menuju Gresik, Icon Mall. Perjalanan kami tempuh dengan mengendarai humor di atas roda motor yang menggelinding. Tanpa kami sadari, agaknya humor meringkas jarak dan waktu, membuat kami merasa, “kok sudah sampai saja, ya.”

Ruang bioskop ada di lantai dua. Kami bergegas naik eskalator sambil sesekali memandang kiri-kanan karena banyak sekali pohon cemara. Maksudku pemandangan yang boleh mencuci mata: baju, tas, sepatu, dan sesuatu yang lucu, yang ingin kupamerkan kepada orang terkasihku.

Wangi berondong jagung menyerbu hidung kami. “Sekalian pop corn-nya, mas?” mbak kasir bioskop menawari. “Endak, mbak” balas kami serempak. Sepuluh menit sebelum film diputar, kami masuk. Ruang bioskop nomor 5. Duduk di deret tengah dengan kombinasi seat G-10 – G-13. Masih ada waktu lima menit. Kami duduk, lantas membahas apa saja yang perlu dibahas: “kenapa kita tidak mengajak perempuan, ya? Mumpung itu di belakang ada kursi khusus untuk pasangan,” “kenapa bumi berbentuk jajar genjang,” “dan kenapa kita cuma berempat doang di dalam ruangan ini, woy! Orang Gresik sudah pada nonton atau bagaimana, ya? Satu bioskop berasa kita yang booking.”

Layar bioskop menyala terang. Satu dua iklan ditayangkan, kemudian kami menonton hidangan utama. Menikmati dua jam penuh dengan laga, perkelahian, juga alur cerita yang menarik: “karena ada sekolah suzuran-nya” ujar sokhabatku. Film ditutup dengan apik. Kami keluar dari ruang bioskop pribadi dengan penuh gaya bak lakon yang menang dalam tawuran. Dikarenakan kami berempat dasarnya pemalu, maka kami tidak melakukan salim pamit kepada mbak kasir yang menawari pop corn tadi. Agak tidak enak sebenarnya, tapi ya, “beginilah kehidupan” ujar sokhabatku.

Sebelum kami kembali ke tempat asal, kami sengaja melipir ke Masjid KH Ahmad Dahlan di Gresik. Ya! Sudah barang tentu ini seperti yang kamu pikirkan. Kami mampir ke sana untuk merasakan betapa gelinya kawanan ikan menggigit sel kulit mati yang menempel pada kaki kami. Satu dari kami menganggap bahwa mencelupkan kaki ke kolam ikan benar-benar menyenangkan. Sedangkan tiga di antara kami—termasuk saya—beranggapan bahwa masing-masing dari komplotan ikan kecil ini agaknya membawa sehelai bulu angsa untuk menggoda kaki tak berdosa kepunyaan kami. Kamu harus melihat ekspresi kegelian yang keluar dari wajah sokhabatku. Persis sama seperti ekspresi Yao Ming dalam meme. Beberapa saat kemudian, melintas ide brilian yang penuh dengan penyiksaan: antara aku dan dua sokhabat yang tak tahan digelitik ikan. Barangsiapa yang kuat memasukkan kaki ke kolam ikan ini dan mampu menahan geli, maka dia-lah pemenangnya. Dan sesiapa yang pertama kali mengangkat kaki dari kolam, kelak dia harus memperistri janda. Sialnya, aku jadi yang pertama mengangkat kaki 🙂