“Nak, bila suatu saat kau dengarkan lagu ini.” Barangkali aku sudah terlalu senja dan ketinggalan zaman untuk mengerti tentang dunia dari balik kacamatamu. Sedang kacamataku kian menebal saban bulan, lama-lama meretak lalu tidak kukenakan lagi. “Dan aku sudah tak ada lagi di sampingmu, Kau akan mengerti, Mengapa begitu menyebalkannya ku di matamu.” Mungkin seperti kakek-kakek di panti jompo. Kembali bersikap kekanak-kanakan sebagaimana kau ketika kugendong dulu. Hanya caraku merengek mungkin beda dengan masa di mana kau masih belia. Semacam gerutu atau omelan yang barangkali kau menganggapnya sebagai bentakan.
BACA JUGA: Beda Jalan, Lain Makna Pulang: Jalan Pulang – Yura Yunita
“Nak, jika saat nanti kau telah hidup sendiri, Dan dunia ternyata tak seperti harapanmu, Ku ada di sini.” Serupa tungku menyala yang hangatkan tubuhmu, lembut membelai rambut legam hitammu; sekaligus menjadi kokoh tembok yang pasang badan pada cuaca terburuk sekalipun. Untukmu. Tetapi jika suatu ketika kau malu dengan sebayamu, tak apa, lekaslah bermain berkumpul bersama mereka di luar, asal jangan jauh-jauh. Sebab aku cemas menanti senyummu dari balik pintu. “Menjadi rumah yang s’lalu menanti kepulanganmu.” Rumah yang berdiri di atas merapi atau samudra atau ayunan taman. Di manapun sesukamu. Sejauh kaki mungilmu itu dapat berlari. Aku, rumahmu, senantiasa di sana. Berlindunglah pulang dalam dekap paling tenang di mana dunia selalu meramaikanmu atau bahkan tak pernah menghargai ketulusanmu.
“Kelak kau ‘kan jadi orang tua seperti aku, Yang ingin anakmu bahagia dengan hidupnya.” Saat itu kau akan mengerti mengapa gerimis yang menimpa anakmu serupa badai yang dapat meluluhlantakkannya. Itu berasal dari ketidakmampuanku melihatmu diterpa masalah seremeh apa pun itu. Aku harus memberitahumu bahwa keberadaan seorang ayah agak lain daripada ibu. Jika ibu berlaku lembut menyuapkan nasi dan nutrisi dengan penuh kehati-hatian, Aku, ayahmu ini ingin putri manisku menjadi kuat. Suatu waktu kau akan mengerti kenapa aku jarang membersamaimu. Ini agar kau biasa sendiri, kebal akan rindu, menjauhi segala kecengengan yang biasa orang-orang patri dalam diri tiap putri.
“Bila bentakan kecilku patahkan hatimu”. Menunduklah, kuatkan hatimu. Sering kali aku terlalu gegabah dan bertindak sesuai kacamata pada zamanku. Tapi kelak kau bakal tahu bahwa terkadang naluri kasih sayanglah yang mendasari pekik itu. Sebuah tamparan kecil untuk menyadarkanmu betapa hidupmu setelah kepergianku bakal begitu keras serupa angin topan dengan batu yang ikut serta berputar. Kuharap kakimu tumbuh lebih kokoh dari segala lika-liku perjalanan di bumi. Tancapkan segenap kekuatan untuk mencengkeram apa yang seharusnya menjadi hakmu. Karena jagat raya tidak sehangat pelukan ibu. Atau sekokoh hatiku. “Lebih keras dari itu, dunia ‘kan menghakimimu.”
“Kubentuk dirimu menjadi engkau hari ini.” Yang tak hanya jelita lagi gemar mengasihi layaknya ibumu, tapi juga secerah mercusuar yang mampu menerangi sesama dalam gulita, sekaligus tegar meski ribu atau jutaan kali dihantam ombak. “Kau harus kuat, kau harus hebat, Permata hatiku.”
Kemudian waktu menunjukkan kuasanya, aku menjadi pelupa dan tua, sedang kau beranjak remaja lalu dewasa muda. “Nak, ‘kan tiba waktu kau harus tentukan jalanmu.” Entah pesepak bola, pilot, seniman, pemilik toko bunga, penyair, atau cukup dengan menjadi orang yang baik kepada semua sebagaimana cita-citamu ketika kecil dulu. Apa pun itu aku harus menerimanya karena kamu yang lebih paham dengan dunia versi sekarang. “Yang mungkin tak searah dan indah di mataku.” Tapi aku yakin bahwa itu baik untukmu. Kau sudah kuat, sudah hebat. Namun, kau harus yakin. “‘Pabila terjadi, Berjanjilah kau akan s’lalu menjadi dirimu sendiri.” Keinginan hatimu itu nyata, dan kau berhak menemukan jalanmu sendiri. “Kelak kau ‘kan jadi orang tua seperti aku, Yang ingin anakmu berkuasa atas hidupnya.”
Aku tak mahir menyanyi, menari, atau mencipta metafora yang penuh dengan makna dan warna. “Aku adalah jemari dan ibumu penanya.” Lalu kerja keras berkelindan dengan cinta yang penuh dengan tinta kehidupan. “Dan kaulah puisi terindah yang pernah tercipta.” Dari sini kuharap kau dapat maklum mengapa aku dan ibumu terlampau khawatir kepadamu. “Semoga belaian kasihku lembutkan hatimu, Kau harus megah, kau harus indah, Kau harus kuat, kau harus hebat, Permata hatiku.”
“Saat Kau Telah mengerti – Virgoun“
Makna lirik lagu Saat Kau Telah Mengerti, dinarasikan oleh Mari Mengurai

Anak kesayangan Emak