Review Film Ancika, Pudarnya Karakter Dilan

review film ancika

Untuk kali keempat, karya novel Pidi Baiq dialihwahanakan menjadi film. Ketiga sequel Dilan sebelumnya laris manis bak permen kapas yang diserbu anak-anak TK. Begitu pun sequel yang keempat ini, meski angka tak dapat bohong. Jumlah penonton Film Ancika belum menyamai jumlah penonton tiga sequel sebelumnya. Akan tetapi, lebih daripada sekadar jumlah penonton, pada sequel yang keempat ini saya mendapati perbedaan yang mencolok, dan saya mencoba untuk me- review film Ancika. Di mana Dilan kehilangan ke’Dilan’annya.

Jauh beberapa bulan sebelum film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 rilis, pemberitaan heboh yang menyatakan bahwa pemeran Dilan, yakni Iqbaal Ramadhan tak ingin memerankan Dilan begitu santer di media sosial. Tak sedikit netizen yang menyayangkan keputusan Iqbaal Ramadhan. Akan tetapi, Iqbaal Ramadhan ya punya hak untuk menolak, apa pun alasannya. Dan, sebagai penikmat film, kita mesti ingat bahwa ini dunia hiburan.

Sebagai gantinya, Arbani Yasiz pun didapuk menjadi penerus tokoh Dilan dengan versi yang lebih dewasa. Saya sejujurnya tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Bahkan Arbani sudah tampil cukup apik—malah lebih apik dari Iqbaal Ramadhan—dengan dialek sundanya, meski pada beberapa bagian, Iqbaal Ramadhan lebih powerful. Saya yakin dengan pernyataan yang saya tulis sebab saya berpatokan pada keempat novel Dilan dan pada sequel sebelumnya.

Dilan adalah sosok yang begitu tengil dan penuh percaya diri ketika berhadapan dengan gadis yang ia suka. Entah ketika bersama Milea, begitu pula seharusnya ketika bersama Ancika. Tapi untuk sejoli Dilan-Ancika ini, saya kurang mendapati hal itu. Saya hanya berasumsi bahwa chemistry antara Arbani Yasiz dan Zee (pemeran Ancika) belum begitu kuat sebagaimana Iqbaal Ramadhan kepada Vanesha Prescilla.

Kalau alasan itu terkesan asumtif belaka, maka kupastikan alasan yang ini lebih kuat. Tetapi sebelum itu, saya ingin memberikan penafian terlebih dahulu. Saya paham bahwa pengalihwahanaan film dari sebuah novel bukanlah hal yang mudah. Dalam hal ini, novel setebal 340 halaman tentu tak bisa dimampatkan menjadi film berdurasi satu jam empat puluh menit dengan begitu lengkap. Sebagai orang yang pernah menyentuh dunia perfilman, saya menyadari betul akan hal itu. Namun, di sinilah letak kerumitannya. Yang sayangnya, menurut saya, Beni Setiawan kurang berhasil memindahkan intisari novel ke dalam sebuah film.

Pada tiga sequel sebelumnya, Fajar Bustomi lah yang menjadi sutradaranya. Yang mana jam terbang Fajar Bustomi dalam memasukkan sebuah novel ke dalam layar lebar tak bisa diragukan lagi. Sebut saja film “Kukejar Cinta Ke Negeri Cina”, “Winter in Tokyo”, dan “Surat Kecil Untuk Tuhan”, yang sukses betul bersaing dengan film-film lain, yang tayang di bioskop. Akan tetapi pada sequel yang keempat, yakni film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, Beni Setiawan lah yang menggantikan Fajar Bustomi.

BACA JUGA: Kutipan Terbaik Buku Eminus Dolere: Panduan Mempersiapkan Perpisahan

Terus terang, dalam review film Ancika ini, saya beranggapan Beni Setiawan kurang bisa membawa ruh seorang Dilan ke dalam film, meski sebenarnya dirinya juga didampingi oleh penulis novelnya, yakni Pidi Baiq. Jika pada awal tulisan saya mengomentari sisi ekspresif dan bahasa tubuh yang kurang, maka pembuktian selanjutnya ialah melalui dialog dalam novel yang banyak sekali tak dimasukkan dalam film.

Sebagai orang yang mengikuti sedari awal perjalanan Dilan dalam novel maupun film, kekuatan Dilan berada dalam pola pikir; caranya mencintai; dan dialognya yang begitu unik menggelitik tapi masuk akal. Akan tetapi perangai ke’Dilan’an itu tak saya temui dalam film Ancika, padahal dalam novelnya masih begitu terasa.

Sedikit saya kasih spoiler sebagai pembuktian agar saya tidak dianggap omong kosong belaka. Salah satu scene yang ada di film tapi tak ada di novel, dan terkesan cringe adalah ketika Dilan bersama Ancika mendorong sepeda motor. Dalam scene itu, Dilan menunjuk ke plang P dicoret dan menyuruh Ancika menjawab arti tanda tersebut. Ancika menjawab dengan sebenarnya, yakni dilarang parkir, lantas kemudian Dilan menyalahkannya dan mengatakan bahwa itu adalah tanda dilarang pacaran.

Atau ketika scene Dilan menemui Ancika di depan kantor polisi. Saat itu Dilan terang-terangan dan lurus berkata bahwa dirinya akan melindungi Ancika. Dari scene tersebut, entah kenapa saya langsung merasa bahwa yang saya tonton ini bukan sequel film Dilan, melainkan FTV di televisi, dengan pernyataan-pernyataan cinta yang klise dan mudah ditebak. Dilan bukan tipikal orang yang seperti itu, dan pernyataan saya itu pun didukung sumber utamanya, yakni novel. Di mana tak ada dialog selurus dan seklise itu.

Pada akhirnya, Film Ancika memang terasa kurang dari segi ke’Dilan’annya. Selain dikarenakan ekspresi dan dialog, pengambilan porsi durasi yang lebih banyak menyorot Ancika sebagai tokoh utama ketimbang Dilan memang tak dapat dimungkiri sangat berpengaruh. Akan tetapi, setidaknya film Ancika ini telah berjaya menyembuhkan sedikit rasa rindu saya pada Dilan; kisah cintanya; dan (mungkin) nuansa tahun sembilan puluhan.

Sekian review film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995.

2 Komentar

  1. Review yang keren. Bahasanya ringan dan mudah dipahami. 👍

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *