Semangka Segar Terakhir di Ladang Kala Musim Paceklik

jurnal pribadi cerita menikah senandika mari mengurai esai

Mereka tersenyum. Kau harus melihatnya secara langsung. Senyum mereka benar-benar asing dari yang sudah-sudah. Kau tak perlu tahu bagaimana aku bisa mengerti bahwa senyum yang ini adalah senyum yang jenisnya berbeda. Itu karena sudah hampir dua puluh dua tahun aku serumah dengan kedua manusia act of service ini. Di samping kembang senyum pada bibir mereka yang agak lain, aku juga mendengar gelak tawa yang serupa dengan canggung remaja saat kali pertama berpacaran. Ini terjadi pada hari ini.

Tepat saat calon menantu emak bapak itu berkunjung ke rumahku (tepatnya rumah kami: bapak, emak, kakak, dan aku). Aku tidak tahu betul mengenai motif kunjungan calon kakak iparku itu. Barangkali teringin satu dua kali mencuri pandang wajah kakak, atau bisa jadi ingin melihatku? Tidak, aku bercanda. Namun, aku cukup yakin bahwa alasan terbesarnya menjenguk rumah kami adalah untuk melihat senyum dan mendengar tawa bapak serta emak. Kembali lagi soal gadis itu. gadis itu adalah gadis yang dilamar oleh kakakku kemarin. Bukan kemarin-kemarin yang lama, tapi memang benar-benar kemarin ini.

Hari itu adalah hari di mana Doraemon diputar di TV kala pagi. Sebelum berangkat ke rumah gadis yang ingin dilamarnya, kakakku terlihat resah mondar-mandir sembari membawa dua cincin yang berumahkan kaca; indah, elegan, dan sederhana. Di sisi lain keadaan rumah begitu padat merayap, macet di sana sini, ada yang ingin mandi, ada yang memasang pita pada hantaran, ada juga yang masih berusaha membangunkan anak kecilnya (itu sanak keluargaku yang dari madura). Suasana yang begitu ramai dan hangat. Hampir seperti reuni keluarga besar. Ya, yang ingin mengantar kakakku untuk lamaran bukan hanya satu dua orang, melainkan enam hingga tujuh mobil. Sebagian dari keluarga bapak: paman, bibi, ponakan, dan sejenisnya; sebagian dari keluarga emak: ponakan, bibi, paman, dan sejenisnya juga; serta dua teman dekat kakakku. Selesai mandi, mengenakan baju rapi serta disemprot parfum sedikit di sana dan bagian sini, membungkus hantaran serta pitanya sekalian, dan mengusap grogi yang menetes dari sela kening kakak, kami pun lepas landas menumpangi mobil.

Acara berjalan dengan lancar meski sempat di tengah perjalanan terdapat jalan yang membingungkan. Namun, jalan yang membingungkan itu tak lebih menyebalkan dari manusia yang membimbangkan.  Kami sampai di tujuan. Acara dibuka oleh kyai desa setempat-memanjatkan syukur, mencurahkan sholawat serta salam, dan seterusnya. Kemudian dilanjut oleh pamanku yang mengutarakan maksud dan tujuan serombongan ini bertandang. Ya untuk melamar. Sebenarnya aku kurang paham kenapa bukan bapak yang menyampaikannya alih-alih pamanku. Sejurus kemudian sang puan menerima lamaran dari sang tuan. Acara ramah tamah pun dilangsungkan. Tak lupa potret sana jepret sini sebagai kenang-kenangan kelak saat sang tuan dan puan sudah menjadi kakek nenek, “lihat! kau kenapa sok-sok an pakai softlens, dasar!,” sepersekian detik dibalas “Halah! itu biar cantik, kan lagi acara penting saat itu. Kau sendiri lihat! Itu muka atau aspal, datar banget!” sambil sesekali terkekeh dan larut dalam ingatan.

Saat acara, kukira aku terlalu berfokus pada kakak dan calonnya. Bagaimana dengan bapak serta emak? Seperti biasa emak senantiasa tertawa dan bapak terlihat sangat berwibawa. Akan tetapi isi hati dan pikiran siapa yang tahu? Barangkali mereka tengah bersiap-siap untuk tegar menghadapi uban yang kian marak tumbuh menjalar, atau mewawas diri agar menjadi bijak yang lebih bijaksana mengingat usia yang kian senja.

Begitu kiranya potret rekaman dari otakku hari lalu. Menyenangkan dan penuh dengan manusia yang ku sayang. Kemudian di sinilah kita, kembali, saat beberapa menit yang lalu sang gadis seorang diri berkunjung sembari menenteng buah tangan. Duduk di sofa dengan perlahan sambil mengenakan selimut canggung binti grogi. Menebar senyum pada bapak, emak, kakakku sendiri, dan aku. Sesekali emak kehilangan topik pembicaraan, tapi itu tidak terlalu kentara sebab segera ditutupi dengan mempersilakan sang gadis menyantap kudapan di hadapannya.

Ya, seperti yang kubilang tadi, besar kemungkinan gadis itu ke rumah kami untuk melihat senyum dan mendengar tawa bapak serta emak. Karena hanya itu harta yang paling berharga di rumah ini. Harta yang kelak kubagi dengan sang gadis tadi. Semoga ia suka dan memandang betapa berharganya senyum dan tawa itu sebagaimana aku dan kakakku memandang bapak dan emak. Waktu berlalu dengan cepat, segera calon kakak iparku itu menyudahi agenda mampir-nya. Sebelum beranjak dari tempat duduk, kutawarkan novel padanya, barangkali suka. Dan ternyata ia memang suka membaca novel, baguslah.

Dia beringsut mendatangi tangan bapak dan emak sekaligus tanganku untuk memohon izin pulang. Persamuhan yang banyak sekali kecanggungan, pikirku. Sekelebat aku terpikirkan untuk menulis surat. Surat singkat untuk calon mempelai kakakku. Tidak sebagai peringatan, apalagi sebuah penjelasan. Barangkali semacam sesuatu yang ingin disampaikan oleh adik untuk seseorang yang berarti bagi kakaknya. Mungkin akan seperti ini suratnya:

“Hai, nona, atau gadis, atau puan, atau kupanggil mbak saja, ya? Langsung saja, aku berterima kasih sebab telah hadir dan berencana melengkapi ­puzzle yang rumpang pada kakakku. Aku kurang tahu bagaimana atau apa yang membuatmu begitu mencintai kakakku. Kukira itu bukan sesuatu yang penting. Karena kata seseorang, cinta adalah sesuatu yang abstrak. Juga ada pula yang bilang bahwa semakin banyak kita mendefinisikan soal cinta, maka semakin kita jauh dari makna sebenarnya.

Hampir dua puluh dua tahun aku hidup dan berbagi ruang bersama mereka: bapak, emak, dan kakakku. Maka, atas apa yang kutulis ini bisa disebut sebagai data yang valid dan bisa kupertanggungjawabkan keasliannya.

Ke depannya, kemungkinan besar kamu tidak akan mendengar kalimat ‘aku sayang kamu’ atau ‘aku cinta kamu’. Mereka bukan tipikal orang yang seperti itu. Akan tetapi kuharap kamu tidak kecewa dan lebih jeli dalam melihat bentuk lain dari kedua kata yang penuh rasa itu. Kerap kali mereka menyelipkannya dalam perlakuan, senyum manis, telinga yang terbuka lebar untuk mendengarkan, dan gelak tawa yang membuatmu lupa bahwa dunia luar tidak pernah baik-baik saja. Mereka bagai semangka segar terakhir yang kamu temui di ladang kala musim paceklik (benar-benar hanya mereka yang tersisa). Mereka jauh lebih hangat daripada tubuh yang berada di dekat api unggun. Mereka rumahku. Dan kelak, sepertiga bagiannya bakal menjadi rumahmu juga. Berbahagialah”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *