Aku tak pernah mengerti bagaimana ‘seni’ bekerja. Sapuan tinta, guntingan kardus, lilitan seng/kawat, atau terakota yang dibentuk—yang serupa-rupa-nya aku tetap tak tahu bentuk apa itu. Sebagaimana nama acara ini, aku sudah tentu ‘awam’ perihal seni. Satu-satunya seni yang kutahu, adalah air, itu pun kerap kutemui di dalam kamar mandi atau di bawah pohon trembesi di pinggir jalan.
Bagaimana kamu memandang seni, mungkin harus lebih memperhatikan bagaimana asbabun nuzulnya. Apa yang melatarbelakangi, apa yang sedang dirasa oleh penciptanya, atau apa kaitannya antara garis bertemu dengan titik-titik.
Di sini, aku hanya menempatkan diriku sebagai pengunjung. Yang hanya ingin me-ngopi, lantas terkejut karena ada pameran seni. Tempat yang cukup luas untuk mengadakan pameran lukis beserta mendendangkan lagu-lagu reggae. Di atas kepala, ada terang kuning dari bohlam lampu yang terbentang malang melintang. Suasana yang membikin mata tenang.
Kembali kepada seni yang tertuang dalam lukisan. Belum sempat aku memahami apa maksud dari kanvas dan isinya, telingaku sudah dijejali lagu reggae yang dibawakan oleh teman-teman ‘jalanan’. Tak hanya vokalis dan musisi yang kena sorotan, sekawanan ‘kawan’ yang berdiri menari, mengayunkan tangan, kaki, sambil memainkan asap rokok yang terus-menerus mengisi rongga mulut mereka pun tak kalah mengambil perhatian.
Aku cukup tersentak kala “Darah Juang” dilantunkan. Lagu dari Marjinal itu benar-benar menggurita di tengah teman-teman seni jalanan. Aku menemukan lagu ini di suatu kota lain, kemudian menjumpai lagu ini lagi di kota-ku sendiri. Dengan artis yang sama-sama gemar hidup di jalanan.
Darah Juang bukan hanya sekadar lagu, ia mungkin serupa himne bagi teman-teman yang termarjinalkan: entah karena keinginan hati, atau karena keadaan yang memaksa. Namun, meski begitu, selalu ada yang dapat kita ambil. Entah dari peristiwa besar, atau pengalaman-pengalaman sederhana.
BACA JUGA: Perjalanan Menonton Tawuran
Rambut gondrong, bertato, bertindik, dan mengenakan kupluk, barangkali lebih mengerti tentang makna perjuangan. Setidaknya di antara mereka tahu dan paham, bahwa hidup tak semudah menengadahkan tangan lantas mendapat uang dari mak bapak. Harus ada yang dikorbankan. Entah tenaga, entah pikiran, entah hati. Akan tetapi kalau sudah menyangkut tanah air dan pembelaan akan kaum proletar, maka tak sekali-kali bisa dikorbankan. Harus ada yang berdiri dan angkat suara. Jika tidak dengan cara berorasi sambil mengenakan jas almamater, mungkin bisa lewat lagu dan seni, bernyanyi dan menari. Seperti teman-teman kita yang sedang kuceritakan ini.
“…mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar, bunda relakan darah juang kami, padamu kami mengabdi…”
Siapa yang dirampas haknya? Siapa yang lapar dan digusur? Pada siapa kami mengabdi? Apakah aku terlibat dalam kata ‘kami’? Merambat tapi pasti, telinga yang terjamah himne ini boleh jadi akan mempertanyakan banyak hal. Makna di balik lirik, pertanyaan mengapa seniman jalanan membawa lagu ini, atau ada apa dengan tanah air yang ku-tempati.
“Pameran Awam Seni 4 bertema folklore. Acara Nyeni ini dihelat di kafe Maharani yang berada di jalan Karanggeneng Sukodadi. Pada Minggu, 19 Maret 2023.”
1 Komentar