Setidaknya Ombak Tak Pernah Ragu Sepertimu

setidaknya ombak tak pernah ragu sepertimu

“Biar kuambil pesanan kita” kau beranjak dari tempat duduk, lalu dengan santai melangkah menuju ke meja kasir. Tepat ketika badanmu hendak berpaling, aku menangkap senyum itu. Senyum tulus yang ditandai dengan relief cakar ayam yang nampak jelas pada ekor matamu. Aku mengiyakan sambil melempar senyum sekenanya.

Alunan ombak yang bertumbuk dengan karang menambah khidmatnya perjumpaanku denganmu. Langit yang jingga cantik kemerahan juga sempat membingungkanku: Berasal dari mana sumber hangat warna ini? Dari matahari ataukah dari sudut ekor matamu?

Kendati demikian, di sekitar kita banyak pasangan dengan aura abu-abu kehitaman. Aku tak tahu kenapa aku memandang mereka dengan warna kelabu, barangkali hanya sok tahu, atau memang karena tak ada mata hangat yang kudapati pada setiap pasangan yang saling bergandengan tangan itu. Merasa tidak nyaman, lekas kualihkan pandanganku. Untuk apa mengamati pandang pada pasangan orang lain? Toh dia tidak begitu kepadaku, kan?

Aku kembali pada ruang imajiku sendiri. Belum sempat ku-menelaah ulang tentang senyum dan tanda tulus pada matamu tadi, kau sudah sandar kembali di tempat duduk kita dengan sedikit kerepotan membawa kentang goreng dan roti bakar.

Thai tea, black coffe, French fries dan toast-nya sudah sampai” kekeh kau menyebutnya dalam bahasa inggris. French fries atau kentang goreng, toast atau roti bakar, bukankah keduanya sama saja meskipun penyebutannya berbeda? Lalu cinta dengan sayang, aku mencintaimu dan kau menyayangiku, apakah ada perbedaan?

Kaki kursi yang menapak pada pasir pantai membuat dudukmu sedikit lucu, agak jomplang, condong ke depan. Aku yang berada di hadapmu berharap agar merah pada pipiku tidak terlalu mencolok. Seketika kerongkonganku terasa kering, cepat kualiri dengan kopi hitam panas yang entah kenapa berubah menjadi hangat. Mungkin karena suhu dekat pantai yang sejuk, atau karena kopinya yang kuminum di bawah rindangnya matamu.

Kudapan dan wedang kopi hanyalah alibi. Sebenar-benarnya yang kupesan ialah sesuatu yang jauh lebih hangat dari kopi, dan terlampau manis daripada roti panggang dengan coklatnya sebagai isi. Aku memesanmu, lengkap dengan baju biru pastel yang kau kenakan. Yang membuatku sulit membedakan antara langit dan tubuhmu; matahari dan matamu; lalu senja dan kombinasi antara senyum pada bibir dan matamu.

Kucoba menutup mata soal cinta dan sayang yang dibeda-bedakan. Bagiku, senyum dan matamu itu tak pernah bohong. Jika kau adalah laut yang biru lagi gemar memburu, maka aku adalah karang yang pura-pura tak tahu: bahwa kau gemar menghantamku.

“Bagaimana kabarku di sana?”

“Aku belum tahu” jawabmu sembari menaikkan bahu.

BACA JUGA: Kereta Mata

2 Komentar

  1. ketikkan komentar di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *