Memori masa kecil menjadi memori yang kerap ingin diulang oleh pemiliknya. Tak jarang, para pemuja kenangan itu mengerahkan uang dan waktunya tuk sekadar memperoleh suasana atau kedalaman perasaan nostalgia yang didapat saat masih kanak-kanak. Tindakan memungut kenangan yang berserakan di tepi jalan silam tak ubahnya seperti mengais remah roti yang baru saja dikeluarkan nenek dari loyang, dalam oven tangkring yang penuh gosong dan karat di bagian atas dan bawahnya: hangat, enak, tapi tetap saja itu hanya remahan. Saya mengekori jejak nenek, dan melalui pembelian konsol NES pekan lalu, saya bisa mengecap hangat remahan roti itu.
Rental PS 2 saat itu begitu marak menjamur di mana-mana. Tak perlu menyeberang jalan raya, dalam dusun saya yang tergolong kecil, nyatanya sudah ada yang membuka rental PS 2. Setengah jam bayar 1.500 rupiah, dan bayar 2.500 rupiah kalau mau merental satu jam. Saya sebagaimana bocah cilik pada umumnya yang keranjingan memainkan gim pun mencobanya bersama teman. Bukan main! Gim-gim seperti GTA; Digimon; Downhill; Rumble Racing; Basara; atau Winning Eleven, menjadi gim yang mampu menculik semua isi pikiran saya untuk terus-menerus memikirkannya sepulang sekolah dan sebelum tidur.
Dahulu semasa guru masih mengajari perkalian dan penjumlahan, saya dibelikan—bukan playstation 2, melainkan—video game, yang beberapa tahun belakangan saya tahu bahwa nama barang itu bukanlah video game, melainkan Nintendo Nes. Sebetulnya lebih jelasnya disebut NES (Nintendo Entertainment System), sebuah gim konsol video 8-bit yang dirilis oleh Nintendo di Amerika Utara, Eropa dan Australia pada tahun 1984. Meski begitu saya ingat betul kalau NES itu dibelikan untuk saya semasa saya sekolah madrasah. Itu tahun 2010-an.
Masa-masa emas PS 2 kemudian bergeser ke gim NES ketika bapak dan emak (saya memanggil ibu saya ‘emak’) membelikan gim konsol 8-bit itu untuk saya. Tentu dari segi grafis PS 2 menang telak, harga antara PS 2 dan NES juga jauh lebih mahal PS 2. Seusia itu saya sudah paham bahwa NES dipilih karena lebih murah.
Dikarenakan saya sudah punya gim yang bisa dimainkan dengan joypad (sebagaimana PS 2 juga dimainkan dengan controller serupa), dan saya tak perlu keluar uang untuk memainkannya, juga tak perlu mengayuh sepeda dulu agar bisa menikmati main gim, saya pun mendekam di rumah dengan gembira diiringi gim-gim yang simpel-asyik tapi membikin saya lupa tidur siang.
Kalau kamu tak mengerti tentang gim yang ada di NES, saya cukup yakin kamu tahu Super Mario. Sebelum kamu menonton film The Super Mario Bros yang diputar di bioskop pada April 2023 lalu, saya sudah familiar dengan karakter tukang ledeng berbaju merah berkumis tebal itu. Melalui gim di NES itulah saya tahu. Bahkan tak hanya sekadar tahu, penyundul jamur itu adalah karakter yang sangat saya sukai semasa kecil, begitupun dengan gimnya yang membikin saya lupa akan segala hal meskipun ada terlampau banyak daftar gim NES lain yang juga tak kalah menarik.
Sepulang sekolah, saya langsung menghadap TV, mencolokkan adaptor NES, menukar channel TV menjadi AV, menekan tombol power pada NES, dan jempol saya langsung lincah menekan “X” di joypad, pada gim Super Mario Bros. Tentu itu saya lakukan setelah saya mengganti seragam sekolah dengan kaos yang ada gambar power rangers merahnya.
Bukan uang, bukan juga jabatan, kamu akan punya kuasa saat NES ada di tanganmu—di rumahmu. Kuasa itu berupa teman-teman yang berbondong-bondong meminta dengan kerling mata memelas sembari berharap kamu mau meminjamkan joypad itu barang beberapa menit saja. Saya merasakan itu, dan saya cukup baik hati untuk mengajak main maupun membiarkan kedua teman saya menguasai NES kepunyaan saya selama beberapa menit. Itu adalah hari di mana tertawa tanpa beban adalah sesuatu yang nyata, dan beban paling berat hanyalah PR matematika.
Kalau umumnya yang memainkan gim hanyalah anak-anak, maka itu tidak berlaku bagi Emak saya. Dulu, saya begitu jengkel saat Emak turut mencengkeram joypad untuk memainkan gim Magic Jewelry. Magic Jewelry adalah gim menata bata, yang jika terdapat tiga corak serta warna yang serupa, maka bata itu akan hilang dan memunculkan bunyian semacam rington gim-gim klasik. Visual pada gim itu cukup simpel. Ada kotak kosong persegi panjang di sisi kiri layar TV, yang akan diisi dengan bata-bata berbagai corak dan warna. Dan di samping kanan ada patung liberty yang mengangkat obor ke angkasa. Gim itu akan berakhir atau “game over” saat bata yang disusun memenuhi ujung atas persegi panjang. Jika itu belum juga terjadi, maka setiap level yang berhasil dilalui akan menambah kecepatan bata itu turun.
Barangkali developernya mikir bahwa saat kecepatan bata itu bertambah, maka pemain akan kewalahan. Menurut saya itu masuk akal, meskipun Emak melawan spekulasi si developer. Entah saya lupa sampai level berapa, tapi Emak begitu lama membuat saya menunggu giliran main gim karena bata yang ia susun tak pernah menyentuh langit-langit. Pendeknya, Emak sangat mahir memainkan gim itu, dan saya adalah anak yang kesal, yang memasang wajah merengut sembari berdoa dalam hati agar Emak salah meletakkan bata dan berakhir “game over.”
Wajah kesal dan doa kurang ajar itu berubah beberapa pekan yang lalu. Momen di mana saya dongkol menunggu Emak menyelesaikan gim menata bata itu, kini berganti menjadi momen yang saya cari-cari. Momen yang ingin saya ulang kembali, mengingat pada umur yang sudah dua puluhan ini, bukanlah ke-akuan yang memainkan gim Super Mario ini yang penting, melainkan melihat Emak fokus dan menampakkan rona bahagia di wajahnya kala memainkan gim dengan gambar patung liberty itu.
Iya, saya kepingin membeli masa lalu. Salah satunya untuk memainkan gim Super Mario, tapi utamanya adalah untuk Emak memainkan gim Magic Jewelry.
NES saya rusak saat saya tengok di dalam laci. Bentuknya sudah tak karuan, entah karena tikus berusaha memainkannya diam-diam, entah karena waktu yang menjadikannya lapuk secara perlahan. Dan untuk kaset gim-nya, yang berbentuk kotak, itu juga sudah hilang tak tahu ke mana. NES yang tanpa kaset gim sebenarnya masih bisa digunakan. Hanya pilihan gim-nya saja yang terbatas.
Saya lalu iseng mencari NES di Shopee. Membutuhkan waktu yang sangat singkat sampai saya menemukan barang masa lalu itu. Bentukannya jauh berbeda, tapi setelah saya telisik, gim-nya masih sama. Tentu ada gim Super Mario dan Magic Jewelry.
Yang membikin saya agak ragu adalah bentukannya. Tidak seperti badan dari NES yang besar dan berbentuk persegi, NES yang saya temukan ini memiliki ukuran jauh lebih kecil, serupa flashdisk. Meskipun keduanya, antara NES kepunyaan saya dulu dan NES yang akan saya beli ini, tetap harus disambungkan ke TV menggunakan kabel tiga warna, yakni putih kuning dan merah. Sejenak, saya baru sadar kalau di NES baru tak ada kabel putih-nya. Joypad-nya wireless, dengan desain retro. Jumlah gim-nya 620 (ini tanpa kaset), “Keren juga perkembangan teknologi ini. Sudahlah barangnya kecil, bisa dibawa ke mana-mana, murah pula” saya menggumam.
BACA JUGA: Apakah Kita Perlu Menulis Untuk Sekadar Merawat Ingatan?
Melihat review serta komen yang baik dan “berfungsi” untuk NES baru ini, saya menjadi lebih yakin untuk membelinya, dan memberikan kejutan kepada Emak. Ah, murah sekali membeli masa lalu, cuma 90-an ribu, ujar saya.
Tak sampai lima hari, benda itu sampai.
Seketika pikiran saya melayap ke masa lalu. NES itu berfungsi dengan lancar dan baik. Emak sedikit terkejut ketika saya menggunakan joypad menekan tulisan “Magic Jewelry” di layar TV.
Suara dari gim itu meruap memenuhi sudut-sudut rumah. Ingatan-ingatan masa kecil berdesakan masuk ke dalam kepala saya. Sensasi itu begitu akrab, bahkan sebenarnya telah melekat dalam diri saya, hanya mungkin sedang mati suri saja, dan saat ini, mereka bangkit serta membawa kenangan yang menyenangkan di tengah lelahnya hidup dewasa ini.
Joypad itu kemudian saya berikan ke Emak, dan saya duduk di sampingnya. Menunggunya bermain dengan memasang senyum paling hangat sedunia sembari dalam hati berdoa, “Semoga bata yang ditata tak pernah meleset, dan Emak melesat menuju level paling tinggi dalam memainkan gim Magic Jewelry”
Saya memungut remah roti itu. Meskipun ini hanyalah remahan dan bukan roti utuh, tapi rasanya tetap hangat; enak.
***
Punya kisah yang serupa dengan saya? Berniat membeli kenangan itu? cek link di bawah ini, ya!
Iya, klik ini.
1 Komentar