Yudisium

yudisium

Di sudut-sudut luar gedung pertemuan, bergerombol lima hingga enam mahasiswa dengan rambut klimis disisir ke belakang. Mereka bercengkerama, barangkali tentang momen-momen lucu yang terjadi belakangan, semasa tugas demi tugas menyita jam tidur serta memangkas uang sakunya. Mengenakan sepatu pantofel yang mendadak harus dibeli di shopee, atau meminjam teman dan tak peduli apakah ada jebol di sisi kiri atau ujung solnya, gerombolan mahasiswa itu santai dan tetap terlihat perlente.

Lagi pula, siapa yang bakal melihat ke bawah untuk memeriksa sepatu. Yang penting jas sewaan yang kupakai ini membuatku terlihat gagah di hadapan gadis-gadis bakal ibu rumah tangga itu. Begitu pikir mahasiswa laki-laki yang sebentar lagi saling sikut untuk mengamankan sebuah loker.

Mengalungkan selempang jingga bertuliskan “yudisiawan” di sisi kiri, nyatanya malah membikin para mahasiswa seolah mengenakan pelampung. Hal itu menjadi masuk akal, sebab beberapa saat setelah ini, tenggelam dalam arus kejam dunia kerja merupakan sebuah keniscayaan. Berpegang teguh pada sikap “ingin mengamalkan” menjadi jargon sok suci bagi mereka yang jadi cikal bakal penjilat atasan. Realistis, ijazah adalah alat untuk mencari kerja yang lebih enak… kita bukan malaikat dan meskipun mengamalkan, kita tetap minta bayaran. Tukas perempuan berbisik yang duduk di atas sebuah kursi bertuliskan namanya sendiri.

Acara yudisium dibuka berikut tiga ayunan palu. Riuh tepuk tangan dari sekiranya tiga ratus enam puluhan lebih pemuda-pemudi bersahut-sahutan. Sebelumnya, suasana sungguhlah hening. Itu saat kepala fakultas (dekan) menyampaikan sesuatu di belakang podium. Sesuatu itu tetap menjadi sesuatu sebab sebagian dari mereka tak ada yang menyimak. Di deretan duduk paling belakang, mereka memijit gawai. Scroll sana, menggeser-geser bermacam bentuk di candy crush, atau tarian jemari di papan keyboard dilakukan guna membalas pesan dari yang tercinta, adalah sedikitnya tiga dari seribu satu cara untuk membunuh rasa bosan. Aku tak suka acara seremonial seperti ini, tak penting. Kata seseorang.

Satu persatu, mereka naik anak tangga untuk meninggalkan jejak kaki di panggung. Yudisiawan menerima map, tersenyum di depan kamera, dan membawa tiga lembar kertas dalam map untuk dibawa duduk kembali di tempat semula. Empat tahun ataupun tujuh tahun , mereka sama-sama hanya menerima itu. Tulisan dengan tanda tangan keramat yang diduga bisa mengantarkan mereka menuju tempat yang sedikit lebih tinggi. Dari luar kampus, mereka yang hatinya tersiram air comberan menimpali melalui sebuah story, “Ijazah adalah tanda bahwa seseorang pernah sekolah, bukan tanda bahwa seseorang itu pernah berfikir.”

Mereka yang membawa turut serta orang tua, boleh menerima pelukan hangat. Tangisan haru pecah. Tekat menjadikan kedua orang tua lebih bahagia mendadak muncul sangat kuat meskipun sebenarnya sejak awal masa perpeloncoan hingga sebelum sidang, dedikasi orang tua acap diabaikan. Kekhawatiran segenap ibu dan bapak mereka yang ditampung oleh Tuhan berupa doa-doa khusyuk niscaya akan amburadul tak terurus jika apa yang dilangitkan itu menjelma menjadi surat yang harus diurus tukang pos.

Terlepas dari acara serta segala pernak-pernik seremonial, yudisium adalah penentu sebuah kelulusan. Kelulusan yang secara tak langsung berarti purna dari tugas-tugas perkuliahan. Lulus dari malam-malam panjang yang kerap diisi perdebatan penting-tidak penting di warung kopi. Juga lulus dari menahan lapar di akhir bulan, yang biasanya disiasati dengan merebus mie, atau jika amat sial, nasi dicampur saus sambal sachetan bisa jadi pilihan. Pendeknya, setelah ini tak ada yang bisa menyiksa mereka sebagaimana saat mereka sedang memakan bangku perkuliahan. Pikirnya begitu, padahal kenyataannya sama sekali lain. Lulus dari penjara keilmuan ini hanyalah semacam perpindahan dari kolam kecil menuju kolam yang lebih besar.

Dekan kembali dipersilakan oleh MC untuk berdiri di belakang podium. Layaknya seorang hakim, palu kemudian dihentak dengan mantap sebanyak tiga kali. Tiga ratus enam puluhan pasang tangan kembali bertepuk tangan tanpa pernah mau mengerti, apakah ketukan palu itu bermakna bahwa sebentar lagi para yudisiawan (atau entah tersangka) itu mendapat hukuman ataukah kebebasan?

SAH, mereka mendapat gelar sarjana. Mereka menari dan menyanyi bersama sebelum akhirnya keluar dari gedung pertemuan seperti semut yang baris-berbaris. Akan dibuat apa, akan dibawa ke mana, dan segala akan-akan yang lain tentu tak bisa teruraikan di sini. Hanya mereka yang tahu jawabannya. Sedikitnya mungkin apakah yang menjadi gula dari para semut itu adalah materi, jabatan, gadis dari pak lurah, atau lagi-lagi “entah apa yang lainnya,” tak ada yang tahu. Semuanya kembali kepada mereka yang menenteng ijazah.

Sebagaimana perpisahan, bagaimanapun yudisium tetap harus dirayakan-disemogakan-didoakan.

Selamat bertualang dalam kolam yang lebih besar! Atau dalam kata lain, sampai jumpa di lain kesempatan!  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *